PLN Mengucapkan selamat idul fitri 2025

Bagaimana Menikahi Gadis yang Ternyata Saat Malam Pertama Ketahuan Tidak Perawan Lagi?

Gadis Bukan Perawan

Bagaimana Menikahi Gadis yang Ternyata Saat Malam Pertama Ketahuan Tidak Perawan Lagi?
foto/ilustrasi

ExtraNews – Tiap pria muslim yang saleh, tentu mendambakan istrinya masih gadis dan perawan, sebagaimana dia menjaga keperjakaanya hingga pernikahan. Karena itu keperawanan menjadi sesuatu yang sakral.

Keperawanan dan keperjakaan bukan hanya sekadar status. Lebih dari keperawanan dan keperjakaan adalah bukti bahwa seseorang telah menjauhi zina dan mampu menjaga auratnya selagi bukan kepada yang telah dihalalkan.

Lantas, bagaimana bila setelah menikah, si lelaki baru mengetahui bahwa kekasih yang baru dinikahinya sudah tidak perawan atau virgin. Bolehkah, ia membatalkan pernikahan dan menarik mahar?

Motivasi dari Nabi untuk menikahi gadis

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia pernah berkata,

تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَقِيتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « يَا جَابِرُ تَزَوَّجْتَ ». قُلْتُ نَعَمْ. قَالَ « بِكْرٌ أَمْ ثَيِّبٌ ». قُلْتُ ثَيِّبٌ. قَالَ « فَهَلاَّ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى أَخَوَاتٍ فَخَشِيتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِى وَبَيْنَهُنَّ. قَالَ « فَذَاكَ إِذًا. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ »

“Aku pernah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bertanya, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?” Ia menjawab, “Iya sudah.” “Yang kau nikahi gadis ataukah janda?”, tanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun menjawab, “Janda.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja, bukankah engkau bisa bersenang-senang dengannya?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki beberapa saudara perempuan. Aku khawatir jika menikahi perawan malah nanti ia sibuk bermain dengan saudara-saudara perempuanku. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu berarti alasanmu. Ingatlah, wanita itu dinikahi karena seseorang memandang agama, harta, dan kecantikannya. Pilihlah yang baik agamanya, engkau pasti menuai keberuntungan.” (HR. Muslim, no. 715)

BACA JUGA INI:   VIDEO!! Sejam Lebih Tamu Hotel Gak Respons, Ternyata Ini yang Terjadi Setelah Pintu Dibuka Paksa

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan,

أَفَلاَ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُكَ وَتُلاَعِبُهَا

“Kenapa engkau tidak menikahi yang masih gadis saja. Ia bisa bersenang-senang denganmu dan engkau bisa bersenang-senang dengannya.” (HR. Muslim, no. 715)

Hadits ini jadi dalil bahwa gadis lebih pantas dinikahi oleh seorang pemuda dibandingkan janda. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Baththol dalam penjelasannya terhadap Shahih Al-Bukhari (13:165) menurut penomoran halaman Maktabah Syamilah.

Pengertian al-bikr atau perawan

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (8:176), al-bakaaroh secara bahasa (etimologi) berarti keperawanan wanita. Sebenarnya al-bakaaroh merujuk pada selaput dara (hymen) pada kemaluan wanita. Al-bikr adalah wanita yang belum pecah perawannya (selaput dara). Menurut ulama Hanafiyyah, al-bikr secara istilah adalah sebutan untuk wanita yang belum pernah digauli (disetubuhi) baik dengan nikah atau selain nikah. Siapa yang keperawanannya hilang selain dari jimak, seperti karena melompat, haidh yang melimpah, ada luka, atau wanita ini tetap di rumahnya sampai ia keluar bersama para perawan lainnya, maka ia masih disebut gadis perawan. Ulama Malikiyyah mengistilahkan perawan (al-bikr) adalah untuk yang belum pernah disetubuhi dengan akad sahih atau dengan akad fasid (rusak) di mana akad fasid juga dianggap sama dengan hukum akad sahih. Ada juga ulama Malikiyyah yang mengatakan, al-bikr adalah yang benar-benar masih perawan.

BACA JUGA INI:   Pengukuhan Kepengurusan MSI Kota Palembang Periode 2023-2028

Di halaman yang sama dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (8:176), lawan dari al-bakaaroh adalah tsuyuubah, yaitu hilangnya keperawanan dengan jimak walau dilakukan dengan jimak yang haram.[1]

Menikahi wanita yang ternyata tidak lagi perawan

Ulama Hanafiyyah berkata bahwa laki-laki yang awalnya menikahi wanita dan ia tahu bahwa wanita tersebut masih gadis (perawan), lalu setelah digauli diketahui bahwa wanita tersebut tidaklah perawan, maka laki-laki tersebut tetap harus menunaikan seluruh mahar. Karena mahar itu disyariatkan hanya sekadar istimta’ (bersenang-senang dengan wanita), bukan karena wanita tersebut perawan. Keperawanan yang telah hilang sebelumnya tidak menyebabkan akad nikah jadi batal. Seandainya disyaratkan keperawanan ketika ingin menikah, tetap akad tidak bisa dibatalkan.

Ulama Malikiyyah untuk masalah seperti di atas menyatakan bahwa laki-laki tidaklah boleh mengembalikan wanita tersebut. Hal ini dikecualikan jika diberi syarat sejak awal bahwa laki-laki tersebut mau menikahi wanita selama wanita tersebut perawan. Karena adanya syarat ini, laki-laki tersebut boleh mengembalikan wanita tadi, baik si wali mengetahui masalah keperawanannya ataukah tidak.

Ulama Syafiiyah sendiri memberlakukan masalah di atas jika saat awal mau nikah diberikan syarat keperawanan. Namun, salah satu pendapat dalam madzhab Syafii menyatakan bahwa luputnya syarat, tetap membuat nikah tersebut sah. Sedangkan pendapat kedua dalam madzhab Syafii menyatakan bahwa nikahnya batal.

Sedangkan ulama Hambali memberlakukan syarat keperawanan. Jika tidak terpenuhi, nikahnya jadi faskh (batal).

Pendapat-pendapat di atas bisa dirujuk pada Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8:180.[1]

 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan:

  • Jika mendapati wanita saat menikah tidak lagi perawan, nikahnya tetaplah sah. Hal ini dikecualikan jika diberikan syarat bahwa yang dinikahi haruslah wanita perawan. Untuk masalah ini barulah para ulama berbeda pendapat.
  • Kalau menikahi wanita yang tidak perawan dinilai sah, maka sebaiknya tidak menanyakan masalah keperawanan saat akan menikah karena masalah ini begitu sensitif. Kalau sudah bertaubat, kenapa mesti dibuka dan ditanyakan lagi masalah ini? Apalagi kalau kita sudah mengetahui kondisi calon pasangan yang berubah dan sudah menjadi lebih saleh.
BACA JUGA INI:   ASBWI dan CSS Sukses Gelar Fun Football Liga Yooscout X Piala Kartini

Dampak negatif dari “sudah tidak perawan”

Satiti Nur Fatimah dalam jurnal penelitiannya [2] menyatakan bahwa keperawanan dalam pernikahan menjadi hal penting, apalagi mengingat budaya timur yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Dalam hasil penelitiannya, istri yang tidak perawan saat menikah akan memiliki konsep diri yang cenderung negatif, di antaranya:

  • Tidak mampu membanggakan diri di hadapan suami,
  • Merasa bersalah,
  • Minder,
  • Kurangnya kepuasan hubungan intim, dan
  • Jika terjadi konflik dalam rumah tangga tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas.

 

Semoga manfaat. Moga Allah menjaga kita semua dari perbuatan yang haram. (**)

 

 

lion parcel