Curhat Sultan Mahmud Badaruddin II Saat Diasingkan ke Ternate

Oleh: Vebri Al Lintani

 

“Remuk dan redam rasanya hati
Lenyaplah pikir budi pekerti
Jikalau kiranya hamba turuti
Daripada hidup sebaiknya mati”

Seuntai syair di atas adalah cuplikan bait ke-8 dalam bait-bait “Syair Burung Nuri” karangan Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang semasa dia diasingkan ke Ternate. Sebenarnya, “Syair Burung Nuri” ini merupakan kisah cinta yang tak sampai, antara burung Simbangan dengan burung Nuri. Namun, jika menyimak isi 15 bait di bagian awal, agaknya Sultan Mahmud Badaruddin II menulis ungkapan perasaan hatinya yang dalam keadaan tidak berdaya, diombang-ambingkan nasib, sedih, pilu dan rindu dengan kampung halamannya.

Sebagaimana dalam warkah sejarah, SMB II adalah Sultan Palembang Darussalam yang ke -7. Nama kecilnya Pangeran Ratu Raden Hasan bin Sultan Bahauddin. Dia lahir di Palembang pada 23 November 1767. Ketika berusia 37 tahun atau tepatnya pada 12 April 1804 dia naik tahta menggantikan ayahnya. Dia dinobatkan setelah 10 hari ayahnya wafat. Sejak itu, dia menjadi pemimpin Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin. Untuk membedakan gelarnya dengan buyutnya yang sama, maka pemimpin yang kharismatik ini populer dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin II. Dalam kaidah bahasa Indonesia angka Romawi II dibaca ke-dua. Sedangkan buyutnya adalah yang ke satu dengan penanda angka Romawi “I” lengkapnya: Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.

Semasa berkuasa, Sultan Mahmud Badaruddin II tercatat telah beberapa kali memimpin pertempuran melawan kolonial Inggris dan Belanda, di antaranya adalah pertempuran di uluan melawan Inggeris (1811), perang sungai dahsyat yang disebut dengan Perang Menteng pada tahun 1819. Dalam Perang Menteng, Palembang tampil sebagai pemenang. Peristiwa dramatis yang herois ini dapat disimak dalam histiografi “Syair Perang Menteng”. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, melihat pililhan diksi yang indah dan keluasan isinya diduga kuat penulisnya adalah SMB II.

Selanjutnya, Belanda yang sangat bernapsu menguasai Palembang melancarkan penyerangan kembali pada tahun 1821. Dengan kelicikan politik adu domba dan tipu daya, akhirnya Belanda berhasil menguasai Palembang pada Juli 1821. SMB II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Menjelang tengah malam pada 3 Syawal 1236 Hijriyah atau jika dikonversi dengan pertanggalan Masehi adalah 3 Juli 1821, SMB II, beserta sebagian keluarga dekatnya menaiki kapal Dageraad. Pada 4 Syawal, rombongan SMB II belayar menuju Batavia, dan selanjutnya diasingkan ke Pulau Ternate. Di Ternate, rombongan keluarga pembesar Palembang ini menempati satu kawasan yang kemudian dikenal dengan Kampung Palembang. Kehidupan Sultan dan keluarga di Ternate benar-benar dikontrol ketat oleh Belanda. SMB II menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 September 1852 dan dimakamkan di Ternate juga. (Sketsa tempat tinggal Sri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).

Curhat Sultan Mahmud Badaruddin II Saat Diasingkan ke Ternate
Vebri Al Lintani

SMB II dikenal sebagai Sultan sekaligus juga ulama yang cerdas, tegas, berani, al-hafiz (hapal alqur’an) berwawasan luas dan bijaksana. Ketika dia ditaklukan dengan siasat licik dan dalam keadaan dilematis, dia memberikan pernyataan “menyerah tidak, melawan pun tidak”. Dia dijuluki oleh pihak penjajah sebagai ”Harimau yang Tak Kenal Menyerah”. Karena perjuangan dan jasanya, Negara telah menganugerahkan “Pahlawan Nasional” berdasarkan SK Presiden RI No 063/TK/1984. Semasa dalam pengasingan di Ternate, SMB II menulis Syair Sinyor Kosta, Hikayat Martalaya, Syair Nuri dan Pencuri.

Kendati demikian, sebagai manusia biasa, sudah tentu Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki perasaan yang sama dengan manusia lainnya. Dia memiliki perasaan gembira, senang, duka dan sedih. Maka sangat wajarlah jika dalam satu tulisan sastranya ketika di pengasingan di Ternate, paduka Sultan pun menuliskan curahan hatin yang mengharukan.

Curahan hati itu ditemukan dalam karya sastra mansukrip (tulisan tangan beraksara Jawi atau Arab Melayu), berjudul “Syair Burung Nuri”, tersimpan dalam koleksi Bagian Naskah Museum Pusat dengan kode, bernomor ML B:21×16 cm, 21 halaman, 20 bari. Manuskrip itu kemudian dialihaksarakan oleh Jumsari Jusuf, Departemen P dan K, Jakarta, 1978. Di Leiden, Belanda, syair ini hanya ada satu, yaitu Cod. 0r.33401.

CURHAT SANG SULTAN

Dalam tradisi kepengarangan masa lalu, di awal tulisan, sang pengarang lazim merendahkan hatinya. Dalam karangan “Syair Burung Nuri”, pengakuan keterbatasan pengarang itu tampak dalam bait ke-1 hingga bait ke-4. Pengarang menyebut dirinya seorang yang fakir dan hina, sehingga kata-kata yang ditulisnya itu mungkin dianggap salah berdasarkan fikirannya yang kurang sempurna (bait ke-1). Seseorang itu dianggap hina jika dia tidak berakal, bersikap kurang sopan, berakhlak rendah, dan hidup dalam keadaan miskin (bait ke-2). Oleh karena itu, disampaikan permohonan maaf sekiranya perkara yang ditulis daripada perasaan kecewanya itu menghasilkan kata-kata yang kurang menarik dalam warkah tersebut (bait ke-3). Penyair menulis lembaran sebagaImana adab seseorang kepada pasangannya yang sedang bercinta, agar pasangan tidak kecewa maka dia menjadikan selembar surat sebagai saluran meluahkan perasaan. [red*]

 

BACA JUGA INI:   "Mafia Hukum dan Parlemen yang Bungkam"

Komentar