ExtraNews – Tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis dalam bukunya “Wartawan Jihad” pernah menekankan prinsip-prinsip penting pers. Prinsip itu antara lain menyampaikan kebenaran, berita akurat, bertanggung jawab terhadap hukum dan kebaikan masyarakat dan mengkritik oknum pemerintah yang menyeleweng.
Pers sebagai pilar demokrasi karena itu perlu dijaga kebebasannya sebagai wujud kedaulatan rakyat. Wartawan yang merdeka dalam mencari dan menyampaikan informasi adalah krusial demi keberlangsungan demokrasi dan penegakan HAM. Pers sendiri diatur secara khusus di Indonesia. Aturannya tertuang dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Namun era kini, pers menghadapi tantangan baru. Harus berjibaku memerangi hoax. Namun nahasnya, pers yang berusaha membasmi hoax itu harus menelan pil pahit. Malah baru-baru ini, ada sejumlah berita yang dicap hoax.
Padahal perlu diketahui wartawan bekerja dalam pemberitaan ada etikanya. Bukan sembarang comot informasi lalu tulis. Ada aturan dalam peliputan, pelaporan dan penulisan sebuah karya jurnalistik.
Sebut saja kasus dugaan pemerkosaan ayah terhadap tiga anaknya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel). Berita itu sempat mendapat sorotan luas oleh media massa nasional. Netizen se-jagat Twitter juga memberi perhatian besar atas kasus mengerikan tersebut. Mirisnya, media massa yang awalnya memberitakan soal kasus ini dengan melakukan investigasi sempat diberi stempel hoax.
Project Multatuli yang mengangkat pemberitaan itu sempat diberi stempel hoax oleh akun Instagram Polres Luwu Timur @humasreslutim dalam stories-nya. Padahal website berita tersebut menyatakan jelas mereka melakukan investigasi sesuai dengan prinsip jurnalistik. Dan benar, setelah mendapat perhatian publik diketahui kasus itu memang nyata ada. Hanya belakangan kata polisi karena tidak cukup bukti maka tidak dilanjutkan saat itu.
Cap hoax yang sembarangan ini kemudian menuai reaksi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersuara agar aparat secara lembaga lebih berhati-hati dalam merespons pemberitaan. AJI juga menyesalkan sehari setelah berita yang berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”, situs web tersebut diserang DDos sehingga beritanya tak bisa diakses.
Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim dan Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas melalui siaran pers langsung mengecam tindakan yang membahayakan kerja-kerja pers tersebut.
Empat poin yang kemudian ditekankan AJI Indonesia yakni:
1. Mengecam Polres Luwu Timur yang memberikan cap hoax terhadap berita yang terkonfirmasi. Laporan tersebut telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait termasuk kepolisian Luwu Timur. Stempel hoax atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik.
“Tindakan memberi cap hoax secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis. Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta,” jelas Sasmito.
2. Mendesak Polres Luwu Timur mencabut cap hoax terhadap berita yang terkonfirmasi tersebut serta menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Pelabelan hoax akan membuat pers menjadi takut dalam membuat berita atau dikhawatirkan memicu praktik swasensor. Upaya yang dapat mengarah kepada pembungkaman pers ini pada akhirnya dapat merugikan publik karena tidak mendapatkan berita yang sesuai fakta.
3. Mengecam serangan DDos terhadap website Projectmultatuli.org. Serangan ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers.
4. Mengimbau kepada jurnalis dan media agar mematuhi kode etik jurnalistik serta mengacu pada pedoman liputan ramah anak yang diterbitkan Dewan Pers dalam memberitakan kasus pencabulan terhadap tiga anak oleh ayahnya di Luwu Timur. Yakni, jurnalis tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor.
Setelah ihwal stempel hoax soal kasus Luwu Timur, tak lama kemudian, terjadi kembali cap hoax terhadap pemberitaan. Kali ini salah satu media massa online diberi stempel hoax beritanya oleh Polresta Tangerang melalui akun media sosial Instagram @polreskotatangerang.
Ternyata berita yang dicap hoax itu adalah berita dengan judul “Didemo Mahasiswa, Kapolresta Tangerang Siap Mundur” di Republika.co.id. Adapun yang dipersoalkan oleh pihak polisi adalah bagian lead atau pembuka berita. Berita itu diketahui masih terkait dengan Brigadir NP yang membanting mahasiswa saat demo di Tangerang, Banten beberapa hari silam.
Portal media tersebut kemudian membantah beritanya hoax. Mengutip publikasi di situs web beritanya, Wakil Redaktur Pelaksana Republika.co.id Joko Sadewo menyatakan keberatan berita mereka dicap berita palsu pada Sabtu, 16 Oktober 2021 lalu itu.
“Sebuah berita tentunya juga berbicara soal konteks atau news peg. Pernyataan Kapolresta Tangerang itu tentunya tidak bisa dipisahkan begitu saja karena tekait konteks kasus Brigadir NP yang saat ini sedang ramai. Justru dengan konteks berita seperti itu, kesiapan mundur Kapolresta Tangerang dari jabatannya menunjukkan sikap ksatrianya sebagai atasan yang berani bertanggung jawab menyusul gaduhnya kasus Brigadir NP membanting mahasiswa,” kata Joko.
Dia mengingatkan apabila pihak Kapolresta merasa ada yang ingin diralat maka bisa melalui berita klarifikasi atau hak jawab. Bukan langsung serta-merta menuding hoax. Pihaknya kata dia, menolak stempel hoax karena arti diksi hoax adalah berita palsu. Padahal berita itu memang ada hasil dari reportase di lapangan dan kutipan juga sesuai yang dinyatakan.
Diketahui bahwa dalam pemberitaan sendiri, keberatan dari sejumlah pihak terhadap suatu berita memang bisa dan wajar bisa dilakukan. Caranya adalah melalui hak jawab maupun permintaan klarifikasi di media massa yang sama yang menuliskan berita itu. Namun lebih lanjut apabila terjadi sengketa atau protes dalam pemberitaan maka jalurnya adalah melaporkan kepada Dewan Pers. Laporan itu kemudian akan ditimbang oleh Dewan Pers. Soal sengketa pers ini diatur jelas dalam UU Pers.
“Jangan kemudian melabeli hoax berita tersebut. Karena fakta peristiwa dan pernyataan tersebut ada,” kata dia. [viva]