ExtraNews – Rivalitas dua jenderal kepercayaan orang nomor satu RI pernah mewarnai di awal kekuasaan Orde Baru . Jenderal Soemitro menjabat Panglima Kokamtib merangkap Wakil Panglima ABRI di satu sisi dan Mayjen Ali Moertopo sebagai Ketua Opsus merangkap Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto di sisi lain.
Dalam strata yang tercipta dalam pemerintahan Orde Baru, orang “dalam” atau kelompok inti dan orang “luar” di sekeliling Soeharto selalu tercipta rivalitas yang “mungkin” sengaja dibiarkan atau dibuat seimbang untuk mengontrol dominasi antar satu kelompok dengan kelompok lain. Seperti yang terjadi antara kubu Jenderal Soemitro berhadapan dengan Ali Moertopo.
Dikutip dari Buku Ali Moertopo dan Dunia Intelijen Indonesia yang ditulis M Aref Rahmat, Jenderal Soemitro adalah perwira dengan kekuasaan tertinggi saat itu. Ia menjabat Pangkopkamtib merangkap Wakil Panglima ABRI. Panglima ABRI yang saat itu dijabat Jenderal M Panggabean hanya bertugas sebagai pembina pasukan. Sedangkan Pangkopkamtib memegang kendali operasi.
Di sisi lain, ada lembaga Asisten Presiden (Aspri/Spri) yang lebih powerful karena akses langsungnya kepada Presiden Soeharto. Selain Soedjono Hoemardani, Ali Moertopo adalah Aspri yang paling berpengaruh.
Di kubu Soemitro terdapat Kepala Bakin Sutopo Juwono dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Sajidiman. Jenderal Soemitro sebagai mantan perwira Brawijaya dan Sajiman yang dahulu di divisi Siliwangi memiliki dukungan dari pelbagai unsur termasuk para perwira lapangan yang tidak Terima atas sepak terjang kelompok Aspri yang dianggap terlalu mendominasi dan berlebihan dalam sistem hierarki militer maupun pemerintahan.
Sebaliknya Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Panggabean lebih cenderung kepada kelompok Aspri. Jika dilihat ada korelasi pertentangan yang muncul dari dua pihak yang bersaing. Satu sisi Soemitro dari Brawijaya dan Sajiman dari Siliwangi, di pihak lain yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani yang sama pada posisi Aspri berasal dari divisi Diponegoro, seperti halnya Soeharto sendiri.
Kelompok Ali Moertopo (Aspri) dalam setiap tindakannya kerap mengatasnamakan Presiden, tetapi karena itu justru dimusuhi oleh institusi-institusi yang ada. Dari pihak Ali menyebutkan, Soemitro kerap dianggap telah melampaui kewenangan dan tugas yang seharusnya.
Banyak tugas yang dilakukan Soemitro sebenarnya tugas Perdana Menteri yang dirangkap oleh Presiden menurut Undang-Undang 1945 yang menganut sistem presidensil. Tugas yang sebenarnya bukan wewenang Soemitro itu diambil alih melalui keputusan Pangkopkamtib, pimpinan SKOGAR, Staf Komando Garnisun yang bertanggung jawab atas keamanan Ibu kota yang biasanya berada di tangan Pangdam Jaya.
Dalam suatu wawancara, Kepala Bakin Jenderal Sutopo Juwono di tahun 1989 mengungkapkan pada 1973 menjelang pembentukan Kabinet Pembangunan II ia pernah mengusulkan kepada Soeharto agar orang seperti Ali Moeropo diberi jabatan dan tanggung jawab yang jelas.
Pasalnya, Ali dinilai sulit untuk dikendalikan sebab tipenya adalah petualang. Jabatan yang diusulkan Sutopo Juwono ketika itu adalah Menteri Penerangan. Soemitro juga dalam suatu kesempatan menyatakan hal yang sama, atas jabatan sebagai Menteri Penerangan, Ali menolak.
“Pada suatu saat ketika saya sedang rapat di Kopkamtib, ada tamu ingin bertemu mendadak, ternyata Ali Moertopo. Ia meminta segera bertemu, karena diperintahkan Pak Harto. Rapat pun saya skors, saya terima dia di ruangan sebelah di tempat main biliar, di tempat saya sering ngaso, ‘He ono opo Li?’ Ia langsung nyerocos, ‘Pak saya ndak mau jadi menteri Pak, saya ndak mau, ndak mau.’,” ujar Soemitro.
Karena itulah ia dinilai lebih suka terhadap jabatan yang inkonstitusional seperti Aspri hingga dapat leluasa bergerak. Menurut Harold Crouch, persaingan di antara penasihat-penasihat Presiden di bidang politik dan keuangan di satu pihak dengan para pendukung-pendukung Jenderal Soemitro di pihak lain pada umumnya seputar perebutan kekuasaan dalam tubuh elite itu sendiri.
Bentuk persaingan itu dapat dilihat dari beberapa kasus. Setelah Ali Moertopo sukses besar mengoordinasi Sekber Golkar dan memenangkan Pemilu tahun 1971 maka para jenderal Hankam (kelompok Soemitro) segera bertindak mencegah agar Golkar tidak tumbuh menjadi basis ekstramiliter bagi Ali Moertopo.
Terdapat pula kasus lain, ketika Kongres Golkar pertama digelar pada bulan September 1973, calon dari kelompok Hankam terpilih menjadi ketua umum. Sebaliknya, ketika Jenderal Soemitro mengusulkan pengangkatan seorang bawahannya, Mayor Jenderal Charis Suhud sebagai Wakil Panglima Kopkamtib pada pertengahan 1973, Soeharto justru mengangkat bekas Kepala Staf Angkatan Laut Sudomo yang mempunyai hubungan dekat dengan Ali Moertopo.
Ali Moertopo dan Soemitro juga memiliki penafsiran yang berbeda tentang keprofesionalan ABRI. Soemitro berpendapat ABRI seharusnya lebih meninggalkan peran-peran sipil yang tidak berkaitan dengan aspek pertahanan negara.
Ali melakukan penafsiran sebaliknya. Ia merumuskan fungsi ABRI yang lebih luwes dengan apa pun yang diperintahkan kepada mereka meski hal tersebut tidak berkenaan dengan pertahanan negara.
Perselisihan menjadi semakin memuncak terjadi pada pertengahan tahun 1973, menyusul reaksi keras dari umat Islam atas diajukannya Rancangan Undang-Undang Perkawinan oleh pemerintah pada 31 Juli 1973. RUU merupakan puncak tuntutan dari organisasi-organisasi wanita didukung Kristen sekuler yang menghendaki adanya perlindungan hukum agar tidak diatur oleh hukum Islam.
Ditengarai RUU ini berasal dari staf Ali Moertopo sebagai suatu masalah yang dapat dimanfaatkan dalam upaya “sekulerisasi” politik Islam. Dalam hal ini Sutopo Juwono mengakui mengambil alih perancangan RUU yang diajukan kelompok Ali tersebut. Mereka mendekati para pemimpin Islam dan melakukan kompromi atas RUU Perkawinan yang baru.
Setelah masalah RUU Perkawinan, ketegangan antara Ali dan Soemitro mencapai puncaknya pada tahun 1974, yaitu meletusnya Malapetaka 15 Januari yang kemudian dikenal dengan Malari 1974.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa rivalitas Soemitro dengan Ali Moertopo turut ambil bagian dalam peristiwa 15 Januari 1974. Ali Moertopo sengaja mengirim anak-anak gelandangan, preman Ibu Kota dan bekas simpatisan DI/TII untuk melakukan huru-hara dan kerusuhan pada aksi demonstrasi mahasiswa yang menyambut kedatangan PM Jepang Tanaka.
Aksi huru-hara dan kerusuhan itu sengaja dirancang oleh Ali Moertopo untuk menyingkirkan lawan-lawannya; terutama Soemitro, mahasiswa dan unsur-unsur lain yang dianggap bersimpati pada gerakan mahasiswa.
Sementara itu, Soemitro justru membuat kesan ‘memberi angin’ pada gerakan mahasiswa. Menjelang kedatangan PM Jepang Tanaka, Soemitro justru mengurangi pembatasan-pembatasan terhadap demonstrasi mahasiswa. Bahkan ketika terjadi aksi huru-hara dan kerusuhan, pasukan keamanan di bawah komando Soemitro tidak langsung bersikap tegas.
Pangkopkamtib menunjukkan nada persahabatan ketika berbicara dengan para demonstran. Dua hari setelah peristiwa itu, pasukan keamanan baru melakukan penangkapan-penangkapan. Sebenarnya, di balik aksi demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974, Soemitro berharap agar protes mahasiswa tersebut dapat memaksa Presiden Soeharto untuk membubarkan Aspri sekaligus menyingkirkan rivalnya itu.
“Setelah Malari, Pak Harto bertanya kepada saya… ‘Apa pendapatmu jika Ali (Moertopo) menjadi Kepala Bakin?’ ‘Jangan!’ saya menolak.”
“Saya katakan kepada Pak Harto, ‘ini bukan karena karena saya tidak suka kepada Ali Moertopo, Pak! Masalahnya karena kita harus menciptakan kesan yang sangat baik kepada seluruh upaya intelijen.’ Perwira intelijen tidak boleh bermain dengan politik,” ujar Soemitro dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, 1981 yang ditulis David Jenkins.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di sekeliling kekuasaan Soeharto masalah rivalitas sepertinya sudah menjadi tradisi. Sebagaimana diketahui setidaknya Soeharto memusatkan kekuasaannya setidaknya pada enam orang pembantu terdekat dan terpercaya. Tetapi pada saat yang sama ia tetap memastikan kekuatan posisinya yang tidak tergoyahkan dan membagi-bagikan kekuasaan kepada mereka yang setia kepada dirinya dan ABRI.
Caranya adalah dengan menyebar rivalitas dan curiga di antara mereka. Keadaan rivalitas di sekeliling Soeharto seperti ini semakin memperkuat asumsi jika sengaja diciptakan Soeharto.
Misalnya Ali Moertopo (dengan sejumlah institusi yang ada di bawahnya) terdapat pertentangan dengan Menteri Amir Machmud dan Departemen Dalam Negeri, departemen kuat yang dibawahinya. Selain dengan Amir Machmud sebelumnya Ali juga berseteru dengan Soemitro.
Sedangkan M Jusuf bersikap waspada kepada Ali Moertopo yang menganggap sepele Panggabean, pendahulu Jusuf sebagai Menko Polkam. Jusuf juga tidak menyukai Widodo yang menjadi Kepala Staf AD (Kasad) periode 1978-1980. Sama seperti Jusuf, LB Moerdani juga tidak menyukai Widodo. Hubungannya dengan Yoga Sugama pun tidak mulus. Baca juga: Putranya Ditunjuk Jadi Pangkostrad, Begini Kata Ayah Mayjen Maruli Simanjuntak
Rivalitas itu juga tidak hanya di kalangan militer, seperti persaingan LB Moerdani dengan tokoh sipil Menteri Luar Negeri Dr Mochtar Kusumaatmadja. Persaingan ini terjadi seputar perebutan pelbagai kebijakan luar negeri. Keduanya yakin presiden mendukung mereka, bahkan acapkali presiden memberikan tugas untuk menyelesaikan masalah yang sama dan tujuan yang bertolak belakang. Dengan seperti itu Soeharto telah mempertajam rivalitas sipil-militer, institusi, dan sekaligus pribadi. [*sindo]