Siapa kita?
Jati diri berkenaan dengan kata viral saat ini: “Siapa kita? Indonesia”. Maka kalau ditanyakan “Siapa kita? Sumatra Selatan”. Apa jawabannya? Menjadi Sumatra Selatan adalahkebanggaan sekaligus beban. Kenapa? Sumatra Selatan identikdengan Palembang. Dari mana pun daerah asal kita. Jika sudahdiluar disebut “Wong Plembang”. Kenapa? Dalam framehistoris, Sumatra Selatan “kata baru”, dibandingkan “kata” Palembang yang jauh lebih “tua”. Masa lalu tidak pernah disebutSumatra Selatan. Sumatra Selatan baru muncul secara resmisekitar awal sampai pertengahan abad ke-20. Belanda yang memulai penyebutannya. Pernah pada tahun 1931 yang dirintissejak 1916, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha membentukProvinsi Zuid Sumatra (Sumatra Selatan) menggabungkandaerah Palembang, Jambi, Lampung, Bengkulu dan Babel. Namun gagal. Sejak awal Sumatra Selatan disebut sebagaiKesultanan Palembang dan Keresidenan Palembang. Artinya, seluruh wilayah Sumatra Selatan disebut Palembang. Oleh sebabnya tak mengherankan, Sumatra Selatan lebih dikenalsebagai Palembang atau Negeri Palembang, budak (anak mudo) Palembang.
Tahun 1946, tepat 15 Mei yang menjadi patokan HUT Sumatra Selatan. Sumatra Selatan dijadikan sub provinsidibawah Provinsi Sumatra. Sub Provinsi Sumatra Selatan meliputi Keresiden Palembang, Lampung, Bengkulu dan Babel. Pemimpinnya disebut Gubernur Muda, pertama dr. AK Gani (Mei-Agustus 1946), kedua dr. M. Isa (1946-1948), ketiga dr. AK Gani lagi (DMI SS, setelah Agresi II Belanda-17 Des 49), Keempat Kembali lagi ke dr. M. Isa (1949- 17 Agustus 1950, pembentukan Provinsi Sumatra Selatan 15 April 1948 (UU No. 10/48, pemekaran dari Prov. Sumatra, RIS dibubarkan 1950, UU 3/50 (10/Mar/50 Pembentukan Prov. SS -1953), Kelima, Gubernur R. Winarno Danuatmodjo (Des 1953).
Kembali ke narasi kenapa menjadi Sumatra Selatan adalahkebanggaan sekaligus beban? Pertama, kenapa “beban” karenastereotif Wong Plembang selalu bersisi negatif “di luar”, “berdarah panas/mlawan/jagoan”, “identik curanmor”, “tukangrusak anak gadis”, dan lain-lain. Selanjutnya, kenapa harus“bangga” karena stereotif Wong Plembang juga selalu memilikisisi positif “di luar”, “royal”, “blagak/tampan/cantik”, “parlente/necis”, dan lain-lain. Kenapa ada dua sisi ambigu ini? Sisi positif disebabkan kemakmuran ekonomi yang luar biasa di negeri Palembang. Sisi negatif tidak lepas dari ada dan munculnya berbagai masa transisi di Palembang.
Jati Diri Makmur “Wong Plembang”
Kenapa kita Makmur? Pertama, membayangkan masa laluPalembang tidak seperti masa kini. Sebelum abad 20. Negeri Palembang terpetakan secara geografis oleh berbagai sungaiyang memanjang. Sungai ini satu-satunya sarana transprotasidan penghubung antar daerah. Sungai membentuk kesatuansuku-suku sebagai landasan wilayah genealogis di Sumatra Selatan. Sungai juga sekaligus pemisah antar wilayah. Sehingga, contohnya di masa itu masyarakat suku Komering di Martapura, tidak mudah berhubungan dengan masyarakat sukuMusi di Sekayu. Jadi masyarakat kita, Sumatra Selatan, terpisahkan dan membentuk kesatuan wilayah secara genealogis. Awalnya perkawinan silang (eksogami) antar suku sulitdilakukan. Kita di Sumatra Selatan, mengental di masing-masing suku. Pada waktu itu, ini keuntungan karena kitamencoba mandiri masing-masing. Membentuk kesatuan otonomterkecil dalam konsep marga. Marga cara kita mengatur dirimasing-masing. Marga ini bentuk asli system pemerintah, adatdan budaya di Sumatra Selatan. Kenapa asli, memang pada abadke-17 istilah ini mengadopsi kata sankrit “varga”. Namunsebelumnya istilah ini identic dengan kata lokal, Melayu kuno, seperti “margga” di dalam prasasti Talang Tuwo, “Marsi-haji” dan “Hulun-haji” dalam prasasti Telaga Batu, atau“gotrasantana” dalam prasasti Kota Kapur. Namun semuamengacu pada makna kesatuan wilayah yang menyerupai margaini. Kenapa berbeda, kemungkinan karena awalnya penyebutanmarga itu tidak tunggal di masing-masing wilayah Sumatra Selatan, seperti marga, kebuwaian, sumbay atau petulai.
Lalu apa untungnya kita hidup mandiri dalam wilayah marga tersebut? Karena muncul ekonomi kemakmuran di masing-masing marga, otonom ini menyebabkan margamenciptakan berbagai kegiatan ekonomi mandiri dan kreatif. Misalnya masyarakat marga diberi hak luas atas tanah, bisamengelola tanah untuk pertanian ditanami segala rempah dan tanaman substansif (masa prakolonial) dan tanaman komersialmacam karet dan sawit (masa kolonial), serta menyangkutkepentingan bersama seperti lebak-lebung, hasil hutan, dlldikelola marga untuk kepentingan masyarakatnya. Perdagangandan ekonomi uang secara merata tumbuh berkembang di marga. Pergolakan perdagangan di marga-marga uluan bermuara di/keibukota, Palembang. Maka Sumatra Selatan muncul sebagainegeri para pedagang. Setiap kekuasaan besar dibangun atasperdagangan. Hubungan perdagangan dengan luar menyebabmunculnya apa yang disebut Hasbullah (1996) dalam bukuMamang dan Belanda: Goresan-goresan Wajah Sosial Ekonomi dan Kenedudukan Sumatera Selatan Zaman Kolonial dan Refeleksinya Hari Ini sebagai “outward looking” (pandangankeluar). Orang asing dihargai, sehingga komunitas Arab, Cina dan Timur Asing serta suku di Nusantara lainnya tentrammenetap di Negeri Palembang. sekaligus “inward looking” Ketika berhubungan kedalam, tanpa ada segregasi kesukuan, Negeri Palembang zero conflict. Simbiosis mutualisme munculantar masyarakat, marga-marga di ulu sebagai sumberkomoditas, ilir pemasar komoditas. Kemakmuran Bersama berkembang dalam bentuk “oedjan mas” di seluruh Negeri Palembang. Manusia Palembang bisa muncul dalam bentuk“royal”, “parlente” dan “blagak/cindo nian”. Kelebihan inidinikmati misal kalau yang kuliah era 1950-1970-an di Yogyakarta dengan stereotif “perusak anak gadis”, pacaranakrab di sana, namun disuruh pulang karena dijodohkan di uluan.
Namun kemakmuran ekonomi ini juga ini memunculkanberbagai masa transisi, terutama di masa kolonial. Pengelanadari masyarakat dusun di marga-marga uluan migrasi permanenataupun menetap di Kota Palembang. Kebanyakan mereka tanpaskill, bekerja serabutan atau menempu “jalan pintas”, bersisinegatif menjadi “centeng, jagoan” di toko-toko, atau mohonmaaf “halusnya mlawan/ngagangi, kasarnya pemalak” di kota. Karena mereka berbudaya baru, budaya wong kota yang cenderung bebas, karena terlepas dari akarnya aturan marga di dusun-dusun mereka. Stereotif ini makin dipertegas, ketikahapusnya marga di uluan Sumatra Selatan. Perlindungan margaatas hak kepemilikan tanah masyarakat ulu mulai tercerabut. Perusahaan-perusahaan perkebunan (baca PT) banyak yang membeli, kalau tidak “merampas” tanah-tanah mereka. Semakinke sini, semakin banyak mereka menjadi penganguran dalamdusunnya sendiri. Akibatnya, selain membanjiri Kota Palembang, banyak juga muncul “preman-preman” baru“berbaju” suruhan PT atau pamong desa “berwajah baru” penerbit SKT dan penikmat “proyek” yang semakin jauh dengansimbol kebesaran para proatin, pamong zaman marga.
Saat ini, penguasaan ekonomi bersama dan perdaganganyang menjadi modal historis berimplikasi politis, ekonomi dan sosbud pada masyarakat terdepan, marga semakin menukit turuntajam di uluan. Jika hal ini tidak diperbaiki, maka kita akansemakin kehilangan modal histori ini. Salah satu solusinya, kembalikan sistem marga di Sumatra Selatan. @