OPINI  

Menilik Aspek HAM dalam Pemberian Izin Ke Luar Negeri bagi Klien Pemasyarakatan

5B3B204B 8CA9 4BDC 9BF2 134F38242C67

Menilik Aspek HAM dalam Pemberian Izin Ke Luar Negeri bagi Klien Pemasyarakatan

Oleh: Eka Mayang Tanjung, S.H.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam teori pemidanaan yang dianut oleh negara tersebut. Sebagai negara hukum, Indonesia bukanlah penganut teori pembalasan, di mana pemidanaan diberikan semata-mata untuk membalas kejahatan namun sesuai dengan filosofi Undang- Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Indonesia menganut teori relatif. Berdasarkan teori ini, pemidanaan diberikan bukan semata-mata untuk membalas kejahatan tetapi ada tujuan yang hendak dicapai. Dalam perkembangannya, tujuan ini dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut:
1. Tujuan Prevensi Umum
Pemidanaan dilakukan untuk memberikan rasa takut agar masyarakat umum tidak melakukan pidana sebagaimana yang dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan.
2. Tujuan Prevensi Khusus
Pemidanaan dilakukan agar warga binaan pemasyarakatan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatannya.

 

Sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia mengadopsi teori relatif ini sehingga ada tujuan akhir yang hendak dicapai dari proses pemidanaan yang dijalani oleh warga binaan pemasyarakatan, yaitu dapat kembali berintegrasi secara baik dan sehat di masyarakat.

BACA JUGA INI:   Penumpang Gelap Kemerdekaan Pers Adalah Media dan Wartawan Abal-abal

 

Salah satu asas sistem pemasyarakatan menyatakan bahwa kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, asas ini tentu dapat tercapai dengan tetap memanusiakan warga binaan pemasyarakatan sehingga sekalipun warga binaan pemasyarakatan yang bersangkutan sedang menjalani pidana penjara tetapi tetap ada hak-hak yang melekat dan wajib dilindungi oleh negara. Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah menjabarkan secara rinci hak-hak warga binaan

pemasyarakatan, termasuk di dalamnya adalah terkait hak mendapatkan integrasi meliputi pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.

 

Hak ini diberikan setelah warga binaan pemasyarakatan yang bersangkutan dianggap telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.

 

Warga binaan pemasyarakatan yang mendapatkan hak integrasi maka akan menjalani sisa pidananya di luar lembaga pemasyarakatan dan berubah statusnya menjadi klien pemasyarakatan yang berada di bawah bimbingan dan pengawasan balai pemasyarakatan. Klien pemasyarakatan yang sedang menjalani program integrasi maka mempunyai hak, kewajiban, serta larangan yang harus dipenuhi. Larangan bagi klien pemasyarakatan selama menjalani program integrasi meliputi:
1. Larangan untuk berpergian ke luar negeri;
2. Larangan untuk melakukan pelanggaran hukum dan/ atau pengulangan tindak
pidana;
3. Larangan untuk menimbulkan keresahan dalam masyarakat;
4. Larangan untuk tidak melakukan wajib lapor kepada pembimbing
kemasyarakatan.

BACA JUGA INI:   Profesi Kita dan Ghibah, Oleh Catatan Hendry Ch Bangun

 

Terkait larangan untuk berpergian ke luar negeri merupakan larangan yang sifatnya tidak mutlak, di mana masih ada beberapa alasan pengecualian yang dapat diajukan untuk mendapatkan hak berpergian ke luar negeri bagi klien pemasyarakatan dengan status Warga Negara Indonesia. Namun pengecualian ini tidak berlaku untuk klien pemasyarakatan yang berstatus Warga Negara Asing.

 

Hakikatnya, klien pemasyarakatan yang sedang menjalani program integrasi memang dilarang untuk mengadakan perjalanan ke luar negeri kecuali adanya izin Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) di mana perjalanan tersebut dilakukan paling lama dalam waktu tiga puluh hari dengan alasan:
1. Menjalani pengobatan perawatan dan kesehatan;
2. Menjalankan syariat agama;
3. Mengikuti pendidikan;
4. Mengikuti kegiatan pengembangan minat, bakat, dan seni.

 

Dalam hal izin berpergian ke luar negeri diberikan untuk kedua kali dan seterusnya dalam kepentingan yang sama, pemberian izin bepergian ke luar negeri diberikan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

Adanya pengecualian larangan tersebut mencerminkan bahwa sekalipun sudah dirumuskan larangan namun larangan itu tidak serta merta bersifat rigid dan negara tetap berusaha memenuhi nilai-nilai hak asasi manusia klien pemasyarakatan, di mana masih adanya toleransi selama terpenuhinya persyaratan dan prosedur yang ditentukan.

BACA JUGA INI:   Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas Sebuah Langkah Anti Demokrasi

 

Jika diperhatikan, alasan pengecualian tersebut berkaitan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 meliputi hak atas pelayanan kesehatan, hak beribadah, hak untuk menempuh pendidikan, serta hak untuk mengembangkan diri.

 

Namun mengingat status klien pemasyarakatan yang bersangkutan masih menjalani program integrasi tentu saja hak ini tidak dapat diberikan secara utuh dan serta merta layaknya warga negara pada umumnya. Ada beberapa aturan pembatasan terkait jangka waktu serta persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi untuk mendapat pengecualian tersebut.

 

Persyaratan dan prosedur mengenai permohonan izin keluar negeri diatur lebih lanjut di dalam Pasal 128 s/d Pasal 132 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat. O