ExtraNews – Munculnya berbagai persoalan dunia pertanian Indonesia seperti menurunnya kualitas agro-ekosistem, banjirnya produk impor, stagnasi produksi. Terutama juga turunnya jumlah petani. Bahkan berkurangnya minat generasi muda, para millennial, untuk terjun dalam sektor pertanian, yang berakibat makin kurang jumlah petani muda Indonesia tiap tahun. Menjadi kekhawatiran para dosen pertanian Universitas Sriwijaya. Sehingga Laboratorium Biometrika Fakultas Pertanian Unsri menggali solusi dengan mengadakan webinar seminar nasional , Sabtu, (15/10/2022).
Seminar nasional bertajuk agripreneurship sebagai re-solusi pengembangan generasi petani milenial dan penyejahteraan sosial ekonomi keluarga petani dihadiri ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS, baik di Sumatera Selatan maupun luar Sumatera Selatan.
Lab Biometrika FP Unsri dalam kesempatan ini juga datangkan para pembicara pakar pertanian Indonesia. Serta mengundang para peneliti, penyuluh, pemangku kebijakan, praktisi, mahasiswa dan pemerhati masalah pertanian dalam berpartisipasi aktif baik sebagai pemakalah pendamping secara pararel.
“Saya atas nama pimpinan Fakultas Pertanian dan Universitas Sriwijaya memberi apresiasi tinggi. Atas usaha Lab Biometrika mengadakan kegiatan Seminar Nasional dengan para pembicara yang kompeten di bidangnya. Dengan topik hangat dan up to date dalam membahas kontribusi millennial di pertanian. Ke depan kita akan semakin dorong kegiatan serupa. Agar ada kemajuan signifikan di pertanian. Terutama di Sumatera Selatan,” papar WD 1, Prof. Filli Pratama yang mewakili Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dalam pembukaan.
Guru besar pertanian Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, MS sebagai pembicara pertama mematik bahwa rendahnya minat pemuda Indonesia terhadap pekerjaan di sektor pertanian, membuat Indonesia terancam kehilangan profesi petani di masa yang akan datang.
“Berdasar data BPS mutakhir, terlihat petani di Indonesia didominasi petani struktur umur yang relatif tua. Sedangkan kaum millenial enggan untuk bekerja sebagai petani.
Hal ini jika berlangsung terus dari tahun ke tahun maka dapat diperkirakan pada masa akan datang Indonesia akan kekurangan petani. Padahal petanilah yang menghasilkan bahan pangan, buahan dan sayuran yang essensial bagi kehidupan manusia,” jelas Prof. Dwidjono HD.
Lebih lanjut menurut lulusan terbaik University of the Philippines Los Banos. Fakta ini merupakan peringatan dini yang memprihatinkan bagi keberlanjutan pertanian Indonesia. Karena rendahnya minat pemuda Indonesia terhadap pekerjaan di sektor pertanian, membuat Indonesia terancam kehilangan profesi petani di masa yang akan datang.
Oleh sebabnya, menurut Ketua Pengkajian Kebijakan dan Lingkungan Pertanian UGM dalam kondisi pesimis seperti itu. Beliau memberi beberapa alternatif.
“Berdasar kajian saya umumnya kaum millennial enggan bekerja sebagai petani karena image pertanian itu kerjanya dilingkungan yang kotor, dan pendapatan kecil tak memadai. Oleh sebabnya menurut saya minimal harus ada tiga perbaikan dalam pertanian kita. Pertama, dikembangkannya pertanian modern. Dengan teknologi mesin pengolah tanah, hingga mesin pemupukan dan mesin panen yang serba modern dengan menggunakan “remote control” sehingga tidak kotor. Kedua, perlu ada alternatif pertanian yang memberi pendapatan lebih, seperti hidroponik, aquaponik atau aquaculture. Ketiga, harus dapat memanfaatan pekarangan dan roof-top oleh petani muda seperti di Thailand”, papar guru besar sosial ekonomi pertanian dan agribisnis UGM.
Guru besar Agribisnis Universitas Sriwijaya, Prof. Fachrurrozie Sjarkowi yang tampil sebagai pembicaraan kedua. Membentangkan kajian Beliau dengan melihat sinyalemen ketaksukaan usaha tani disebagian besar kalangan generasi millennial.
“Kajian saya menyatakan bahwa pertanian kita perlu rekayasa tipe baru. Dorongan taktis strategi bagi pelaku agribisnis dan agroindustri sangat diperlukan. Agar menarik dan pacu kaum petani berusia muda ikut terlibat dalam pertanian yang mensejahterakan semua.
Agripreneurship sangat dibutuhkan dalam usaha tani. Mereka perlu diberi tempat luas oleh Pemerintah Daerah dalam aspek layanan pendidikan tinggi. Lingkungan wirausaha kondusif dengan ketersediaan responsif legalitas UMKM.
Serta adanya landasan niaga yang aman, lugas, lancar dan maju. Semua ini dengan maksimal didorong oleh Pemdapemda setempat. Sehingga khawatir akan kehilangan petani di masa depan tak terjadi”, jelas lulusan terbaik University of Kentucky, USA.
“Sebab kita saat ini butuh millennial sebagai petani muda terdidik. Yang penuh percaya diri, kreatif dan inovatif dalam merespon pasar tani dan berani tangkap peluang serta mampu kelolah resiko jadi untung dalam persaingan pasar agribisnis global saat ini. Mereka yang dengan gesit dapat mengolah ulu dan ilir pertanian kita. Oleh sebabnya, perlu dipikirkan oleh pengambil kebijakan daerah, termasuk perguruan tinggi dalam mendorong lahirnya para agri-preneurship ini ke depan. Sehingga pertanian kita makin kokoh dan tangguh”, papar guru besar terbaik Unsri yang pernah menahkodai Bappeda Sumsel.
Pada kesempatan yang sama narasumber ketiga Kepala Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (BALITTRI) Kementan RI, Dr. Tedy Durhamsyah melihat dari kajian melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Sejak pandemik Covid-19.
Namun ketika hal itu terjadi berdasar kajiannya dunia pertanian, justru muncul sebagai penyumbang tertinggi pertumbuan ekonomi nasional. “Saya melihat dari segi perkembangan nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar usaha petani (NTUP) yang mengalami kenaikan secara signifikan dari tahun awal 2021 sampai medio 2022. Selain itu, kinerja pembiayaan KUR sektor pertanian juga mengalami perkembang pesat sejak tahun 2020 hingga 2021.
Yang diiringi peningkatan produksi komoditas pertanian,” jelas Dr. Tedy Dirhamsyah yang juga sekretaris Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Pusat.
“Namun ditengah kabar gembira kontribusi pertanian selama pandemi ini. Saya mengkaji dunia pertanian kita masih menghadapi tantangan besar. Karena berdasar data sebagian besar petani kita lebih dari 60 persen.
Di dominasi petani usia lanjut di atas 45 tahun. Dari data 27,7 juta petani Indonesia. Petani millennial kita masih sangat sedikit. Sekitar 9,1 juta saja. Petani millennial masih menganggap petani bukanlah profesi keren.
Sehingga ini tantangan besar untuk kita semua. Untuk membalikkannya menjadi sebuah potensi. Karena sebetulnya pertanian kita butuh support besar dari kaum muda ini.
Untuk penguasaan inovasi dan kreativitas teknologi dan manajemen pertanian modern”, ujar Dr. Tedi Dirhamsyah lulusan cumlaude Program Doktor Ekonomi Pertanian UGM 2016 diselah paparan dan diskusi. Kegiatan ini berlangsung satu hari penuh dengan diskusi seru. Namun mampu dicairkan sangat hangat oleh Ketua LPM FP Unsri Dr. Riswani selaku moderator. [rel]