Harmoni Politik : Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, Katalisator Demokrasi Indonesia
Oleh : Fathur Pramudya Putra, Kader Muda Nahdlatul Ulama
Pada 5 Juni 2025, Presiden Prabowo mengutus Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Menteri Sekretariat Negara Prasetyo Hadi menemui Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani di Teuku Umar. Meski pertemuan terjadi saat isu reshuffle kabinet dan spekulasi PDIP masuk Kabinet Merah Putih, Dasco menegaskan tidak ada pembahasan soal rumor tersebut. Mereka diutus sebagai penyambung pesan untuk diskusi kebangsaan dengan Megawati.
Pertemuan ini bukan sekadar formalitas politik biasa, melainkan sebuah langkah strategis yang membawa dampak signifikan terhadap stabilitas politik nasional. Ketika dua figur politik dengan basis massa yang besar dan sejarah politik yang panjang duduk bersama dalam suasana yang kondusif, hal ini menciptakan sinyal positif bagi publik dan investor. Iklim politik yang “adem” atau kondusif menjadi faktor penting dalam memulihkan kepercayaan publik dan menarik minat investor, mengingat stabilitas politik merupakan prasyarat fundamental bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Teori konsolidasi demokrasi yang dikembangkan oleh Larry Diamond dalam bukunya “Developing Democracy toward Consolidation” (1999) mengungkapkan definisi konsolidasi demokrasi sebagai persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi serta menekankan pentingnya penguataninstitusi demokrasi melalui konsensus di antara elite politik.
Dalam konteks Indonesia, pertemuan Prabowo dengan Megawati dapat dipahami sebagai bagian dari proses konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung. Diamond menjelaskan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi memerlukan kesepakatan di antara elite politik mengenai perawatan stabilitas politik dan komitmen terhadap proses demokratis.
Pertemuan ini menunjukkan kedewasaan politik kedua figur dalam memisahkan kepentingan pribadi ataug golongan tertentu dengan kepentingan nasional yang lebih besar. Prabowo Subianto, sebagai presiden yang baru menjabat, menunjukkan sikap inklusif dengan merangkul ketua umum partai politik yang tidak tergabung ke dalam pemerintahannya. Sementara Megawati sebagai negarawan senior, menunjukkandukungan terhadap stabilitas politik nasional di atas kepentingan pribadi atau partisannya.
Konsep demokrasi Pancasila yang menekankan musyawarah mufakat dan semangat gotong royong juga tercermin dalam dinamika pertemuan ini. Berbeda dengan model demokrasi liberal yang cenderung advertorial, demokrasi Pancasila mengutamakanharmoni dan konsensus.
Pertemuan Prabowo-Megawati menunjukkan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik politik modern, di mana perbedaan ideologi atau pun arah politik tidak menghalangi dialog konstruktif.
Dalam buku kajian akademik penegasan demokrasi Pancasila yang disusun oleh Badan Pengkajian MPR RI tahun 2018, dinyatakan bahwa secara luas demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila pada bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Secara sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Kemudian, salah satu prinsip dalam demokrasi Pancasila adalah mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan. Maka dari itu, dapat kita lihat bersamabahwa rangkulan yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Megawati Soekarnoputri mencerminkan bahwa persoalan kebangsaan menjadi halutama untuk di komunikasikan secara konstruktif.
Prinsip musyawarah mufakat yang merupakan jiwa demokrasi Pancasila terlihat dari kesediaan kedua pihak untuk bertemu dan berdialog meskipun berasal dari kubupolitik yang berbeda. Hal ini mencerminkan kematangan demokrasi Indonesia yang tidak lagi terjebak dalam polarisasi ekstrem, melainkan mampu menemukan titik temu untuk kepentingan bersama.
Merajut Silaturahmi, Memperkuat NKRI
Dalam buku karya Robert Dahl yang berjudul “Polyarchy: Participation and Opposition (1971), menekankan pentingnya komunikasi antar elite dalam menjaga stabilitas sistem demokratis. Komunikasi yang efektif antar elite dapat mencegah konflik politik yang destruktif dan membangun konsensus untuk kepentingan bersama. Pertemuan Prabowo-Megawati dapat dipahami sebagai bentuk komunikasi elite yang bertujuan untuk menjaga equilibrium politik nasional.
Komunikasi ini tidak hanya terjadi pada level personal, tetapi juga pada level institusional. Ketika presiden bertemu dengan mantan presiden, hal ini menunjukkan penghormatan terhadap institusi kepresidenan dan kontinuitas kepemimpinan nasional. Komunikasi semacam ini penting untuk menjaga legitimasi politik dan mencegah fragmentasi politik yang dapat mengganggu stabilitas nasional.
Kenneth Burke dalam bukunya yang berjudul A Grammar of Motives (1969), menjelaskan bahwa teori komunikasi simbolik merupakan tindakan politik tidak hanya memiliki makna literal, tetapi juga maknasimbolis yang lebih dalam. Pertemuan Prabowo dengan Megawati merupakan “dramatic act” yang kaya akan simbolisme politik. Simbolisme ini mencakup beberapa dimensi : pertama, simbolisme persatuan yang mengatasiperbedaan politik; kedua, simbolisme kontinuitas kepemimpinan nasional; dan ketiga, simbolis menatabilitas institusi demokratis.
Dalam konteks NKRI, komunikasi politik yang positif antar elite memiliki makna strategis yang penting. Indonesia sebagai negara yang plural dengan berbagai tantangan geografis, etnis, dan agama memerlukan komunikasi politik yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan. Pertemuan Prabowo-Megawati menunjukkan bahwa perbedaan politik tidak boleh mengancam keutuhan NKRI. Komunikasi ini juga memberikan contoh bagi elite politik di daerah untuk mengutamakan dialog dan konsensus dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Ketika elite nasional menunjukkan sikap yang matang dalam berkomunikasi, hal ini dapat menjadi model bagi komunikasi politik di tingkat daerah yang sering kali masih terjebak dalam rivalitas yang tidak produktif. @