*Catatan Akhir Tahun 2021 PWI Pusat* Indonesia Mulai Keluar dari Pandemi

31F60EAC 7CBB 4F97 81F4 09A0A620E0F2

*Catatan Akhir Tahun 2021 PWI Pusat*
Indonesia Mulai Keluar dari Pandemi

Jakarta, Extranews —Indonesia secara perlahan mulai keluar dari krisis pandemi Covid-19 yang telah melanda 226 negara. Penanganan pandemi yang mengedepankan sisi Kesehatan atau keselamatan warga tetapi tidak meninggalkan aspek ekonomi, dinilai berdampak positif untuk menekan penyebaran Virus Corona dan menjaga laju pertumbuhan ekonomi.

Demikian catatan akhir tahun 2021, disampaikan oleh ketua umum PWI Pusat Atal S Depari dan Sekjen Mirza Zulhadi, Jumat (31/12).

Total kasus per 1 juta penduduk di Indonesia tercatat 15.341 orang atau 1,53 persen, jauh di bawah rata-rata dunia, yakni 36.550,8 orang atau 3,65 persen (sumber Worldometers, 30 Desember 2021).

 

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2021 mencapai 7,07 persen  secara year on year (yoy), lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.

Tren positif penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia juga tak lepas dari peran pers dalam membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjalankan protokol kesehatan, mengikuti vaksinasi, dan menangkal informasi hoaks. Satgas Penanganan Covid-19 menyatakan bahwa 63 persen keberhasilan komunikasi program penanganan pandemi berkat kontribusi  pemberitaan media, khusus media arus utama.

 

Dengan pertimbangan yang sama, 3.050 wartawan kembali diikutkan dalam program Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku (FJPP) periode 2021. Para peserta FJPP adalah wartawan yang telah kompeten atau memiliki sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Di Indonesia, terdapat 17.970 wartawan yang dinyatakan kompeten dan 14.559 wartawan (81,01 persen) di antaranya mengikuti UKW yang diselenggarakan PWI.

 

Peran  pers dalam menangani keadaan-keadaan pandemik selama tahun 2021 perlu mendapat apresiasi. Di satu sisi pers mampu bahu-membahu dengan pemerintah untuk mengatasi keadaan-keadaan pandemik, tetapi pada sisi lain pers tetap mampu menjalankan fungsi kontrol sosial dan kritik kekuasaan secara proporsional dan beretika.

 

Kritik pers di sini adalah unsur energizer yang penting agar pemerintah selalu terdorong untuk memperbaiki diri dan tidak terjebak pada sikap sewenang-wenang. Namun di sisi lain, pers perlu juga berkontribusi positip menciptakan suasana yang kondusif bagi pemecahan masalah-masalah bersama, seperti membangun sikap optimistis publik bahwa pandemidapat segera teratasi.

 

Meski memiliki kontribusi besar dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, fakta menunjukkan ancaman terhadap kebebasan pers masih banyak terjadi pada tahun 2021. Ancaman tersebut dalam bentuk fisik, psikis, maupun ancaman virtual yang datang dari unsur masyarakat, pengusaha, maupun pejabat atau aparatur negara.

BACA JUGA INI:   BNPT Road Show Ke Poltek Sriwijaya Cegah Radikalisme

 

Kasus penganiayaan terhadap wartawan yang tengah menjalankan peliputan oleh oknum polisi di Surabaya, Jawa Timur, adalah satu contoh nyata. Dua polisi terdakwa penganiayaan terhadap wartawan telah dituntut 1 tahun 6 bulan. Kekerasan terhadap wartawan tak hanya menyebabkan korban luka, tetapi juga menyebabkan kematian. Mara Salem Harahap (Marsal Harahap), Pemimpin Redaksi Lassernewstoday.com di Sumatra Utara ditembak mati pada 19 Juni 2021. Berdasarkan hasil penyidikan Polisi, motif pembunuhan diduga terkait dengan kasus tanah.

 

Selain itu, masih banyak wartawan yang mendekam di penjara karena berita yang ditulisnya. Penegak hukum sering menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menangani kasus pemberitaan. Upaya untuk melindungi wartawan agar tidak terjerat UU ITE ini  sudah dilakukan dengan adanya Memorandum Of Understanding (MoU) tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan antara Ketua Dewan Pers dan Kapolri. Sayangnya MoU ini oleh sebagian  penegak hukum tidak dipatuhi.

 

Menurut catatatan PWI ada beberapa wartawan yang dihukum penjara menggunakan UU ITE.  Mohamad Sadli dihukum 2 tahun penjara menggunakan UU ITE oleh Pengadilan Negeri (PN) Pasar Wajo Jambi akibat tulisannya berjudul “Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap menjadi Simpang Empat”.

 

Ridwan alias Wawan dihukum 8 bulan penjara, denda Rp 5 juta jo subsider 2 bulan penjara oleh PN Enrekang, Sulawesi Selatan.  Diananta Putra Sumedi, dihukum 3 bulan 15 hari oleh PN Kotabaru, Kalimantan Selatan. Mohammad Asrul dihukum 3 bulan penjara oleh PN Palopo, Sulawesi Selatan, karena dianggap mencemarkan nama baik pejabat di Palopo.

 

Dari semua kasus itu, Dewan Pers sudah menyatakan bahwa berita yang ditulis wartawan itu adalah produk jurnalistik dan saksi ahli yang dihadirkan di persidangan juga menyatakan bahwa wartawan tidak dapat dipidana karena berita.  Meski demikian, harus diakui bahwa banyak berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) setelah sejumlah kasus pengaduan masyarakat ditangani Dewan Pers.

 

Dalam beberapa tahun terakhir juga berkembang jenis-jenis kejahatan digital, seperti doxing, bulliying, dan hacking. Sasaran kejahatan adalah para wartawan yang kritis terhadap para pemegang kekuasaan. Para pengancam kebebasan pers itu memanfaatkan platform digital atau media sosial untuk meneror para wartawan. Keberadaan berinternet yang melahirkan platform digital atau media sosial selain telah menjadi channel communication bagi masyarakat dan sarana distribusi konten bagi perusahaan pers, juga telah merusak kehidupan berbangsa dan bernegara serta masa depan pers. Cantoni and Tardini (2006) menyebut internet sebagai a double edged sword, pedang bermata dua. Banyak pers yang gulung tikar karena terdisrupsi perkembangan teknologi digital.
Ini tantangan terhadap kebebassn pers ke depan. Negara harus hadir memberi perlindungan terhadap pers.

BACA JUGA INI:   Ditemukan Mayat Bayi Terbungkus Paper Bag, Ada Uang Rp 1 Juta dan Surat

 

 

Pemerintah perlu mempertimbangkan benar regulasi mengenai social media law untuk memberikan tanggung jawab yang semestinya pada  perusahaan platform media sosial dalam mengendalikan konten-konten yang meresahkan dan memecah belah masyarakat. Namun, perlu diperhatikan bahwa  social media law semestinya tidak terjerumus dalam regulasi yang berlebihan (over regulation) yang justru mereduksi segi segi positif demokratis dari fenomena media sosial.

 

Bagaimana tantangan pers tahun 2022? Tahun 2022, terdapat 101 kepala daerah (tujuh gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota) yang habis masa jabatannya. Karena ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ke-101 kepala daerah yang habis masa jabatannya itu akan diganti oleh pajabat karier yang ditetapkan oleh pemerintah yang akan menjabat sampai 2024. Penjabat (Pj) atau pejabat sementara (Pjs) yang tidak dipilih langsung itu dapat menghadapi kendala dalam berhubungan dengan anggota DPRD sehingga akan berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini, pers harus benar-benar menunjukkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi atau kekuataan keempat (fourth estate) sehingga kehidupan bernegara tetap berjalan sesuai UU dan konstitusi.

Pers juga tetap harus waspada terhadap berbagai perubahan lingkungan. Dampak pandemi Covid-19 yang telah menghantam Indonesia selama hampir 2 tahun, tetap akan ‘memaksa’  industri media  untuk terus beradaptasi dan mengadopsi digitalisasi. Hal yang paling mudah dilihat adalah aktivitas pertemuan (meeting) yang tidak lagi dilakukan melalui tatap muka (face-to-face), melainkan menggunakan aplikasi Zoom, Google Meet, dan lain-lain. Bahkan, menurut McKinsey Global Survey, secara global, pandemi mempercepat digitalisasi interaksi pelanggan selama 3 tahun, dan di Asia Pasifik selama 4 tahun.

 

Disrupsi digital bagi industri media massa ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, industri media diuntungkan dari sisi biaya produksi yang murah. Di sisi lain, industri media sebagai penerbit dirugikan dari sisi monetisasi konten gratis oleh platform digital, padahal ada wartawan dan awak media yang telah susah payah membuat berita atau konten tersebut.

 

Dalam konteks yang kurang lebih sama, segenap komunitas pers nasional perlu terus berikhtiar untuk menemukan bentuk-bentuk bermedia yang berkelanjutan, baik secara jurnalistik, bisnis maupun dari sisi adaptasi teknologi. Hal yang tak kalah penting, negara perlu hadir memberikan afirmasi yang nyata terhadap industri media massa nasional dalam berhadapan dengan trend disrupsi digital.

BACA JUGA INI:   Iva HD Cs Raih Medali di iGEM Boston AS

 

Afirmasi itu antara lain dengan mempercepat pelembagaan regulasi Publisher Right yang bertujuan untuk mendukung daya-hidup pers nasional dan menciptakan iklim persaingan usaha di bidang media yang sehat dan transparan.
Tahun 2022 Analog Swicth of (ASO) dimulai. Siaran televisi digital dimulai secara bertahap dan siaran analog dihentikan sehingga para pemain media televisi akan semakin banyak.

 

Jika saat ini terdapat 15 stasiun televisi untuk satu layanan maka ke depan bisa menjadi berlipat enam kali. Minimal akan ada 72 stasiun televisi. Tentu saja stasiun televisi yang banyak ini memerlukan konten yang banyak dan beragam yang dapat menjadi peluang untuk para reporter atau content provider.  Tahun 2022 juga  mulai diluncurkan Generasi Lima 5G Komunikasi. Artinya kecepatan dan kemampuan komunikasi nir kabel akan mengalami lompatan. Perkembangan teknologi komunikasi ini akan membuat media semakin konvergen. Setiap perusahaan media akan memiliki tiga platform media sekaligus, yaitu siber, radio, dan televisi.
Tantangannya buat para wartawan ke depan adalah kemampuan multi-tasking. Wartawan harus serba bisa, mampu membuat karya tekstual, audio dan audiovisual.

 

 

Kompetensi menulis, mengambil gambar atau video, dan merekam audio mesti dimiliki oleh wartawan. Posisi wartawan juga berubah karena konten berita sangat ditentukan oleh selera konsumen. Di samping itu, adanya mesin pemeringkat, menyebabkan popularitas mengalahkan kualitas jurnalisme. Segenap pers Indonesia perlu mengantisipasi dan merespon perkembangan ini dengan seksama, tanpa kehilangan jati diri sebagai kekuatan keempat demokrasi dan penjaga keadaban ruang public yang demokratis. Rel/Fk