Bulan Mei dan Pers Kita
Catatan Hendry Ch Bangun
Bulan Mei segera berakhir dan kita memasuki bulan Juni.
Bagi kalangan pers dunia, Mei ditandai dengan peringatan Hari Kemerdekaan Pers Dunia pada 3 Mei, yang tahun inipelaksanannya diadakan di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsadi New York City. Sebagaimana biasa Indonesia juga hadir di event itu, diwakili Dewan Pers, untuk menyimak isu-isu barudan menyampaikan juga kondisi pers di Tanah Air.
Isyu yang tak pernah lekang oleh waktu adalah kemerdekaanpers, yang dimana-mana negara selalu terancam, dengan derajatyang berbeda-beda. Amerika Serikat sendiri yang dulu sekalidikenal sebagai kampiun pers, kini termasuk negara yang menghantam pers, khususnya sejak Donald Trump menjadipresiden. Kubu konservatif tidak ragu mempidanakan pers yang dianggap merugikan mereka. Bahkan di negara bagian Florida kemerdekaan pers terancam dengan aturan baru yang direstuibakal calon presiden dari Partai Republik, Ron DeSantis.
Jangan tanya lagi kondisi pers di RR Cina, di India, di Rusia, atau di Turki, atau tetangga kita Singapura dan Malaysia yang memang sudah begitu lama menjadi keprihatinaan internasional. Bagaimana dengan di Indonesia? Meskipun ada yang mengatakan banyak potensi ancaman baik dari aturan, penegakhukum, kelompok berduit, kelompok berkuasa ormas ataupunparpol, pers di negeri kita masih berjaya. Beruntunglah kitamasih punya Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Persdengan berbagai turunannya berupa Peraturan Dewan Pers dstkarena pers masih bisa melakukan banyak hal untukmenyuarakan kepentingan publik.
Masalah saat ini bukan lagi ancaman, tetapi lebih pada rayuanfinansial dan kekuasaan. Kian banyak media dan pekerja media yang tidak tahan pada godaan, khususnya mereka yang setiaphari berjuang untuk hidup dan bertahan. Kita menyaksikanbagaimana press release yang tidak berimbang, dimuat begitusaja di media online besar. Kita melihat bagaimana beritatentang seseorang atau sesuatu, yang seragam kalimat danfotonya dimuat beramai-ramai. Kalau ini tidak digugat dandipersoalkan, maka akan semakin merosotlah harkat danmartabat media massa, tidak lagi kredibel di mata masyarakat.
Organisasi-organisasi perusahaan pers bersama Dewan Persharus mencermati gejala ini dengan seksama dan mengingatkanmereka agar independensi pers itu harus dipegang teguh. Janganlah dianggap sebagai angin lalu dan menjadikanmekanisme pasar sebagai hakim yang menentukan hidup matimedia massa. Repubik ini masih membutuhkan media massayang sehat, setidaknya untuk mengimbangi tsunami media sosialyang tidak terkendali. ***
Bulan Mei juga menjadi penting bagi kalangan pers, karena adayang namanya tahapan pemilu pendaftaran calon legislatif daripartai politik. Daftar Calon Sementara (DCS) itu pada bulanSeptember mendatang akan dijadikan Daftar Calon Tetap (DCT) oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat, KPU Provinsi, maupunKPU Kabupaten Kota.
Pers memang diharapkan memberitakan tahapan-tahapanPemilihan Umum agar masyarakat tahu tanggal-tanggal pentingsebelum pencoblosan yang akan diadakan pada 14 Februarimendatang. Inilah fungsi informasi sekaligus juga fungsiedukasi dari pers, yakni meyakinkan masyarakat untukberpartisipasi di setiap tahapan khususnya pada Hari H pencoblosan.
Dengan berbagai persoalannya partisipasi masyarakan sangatpenting karena ini adalah sarana pergantian pemegangkekuasaan yang sah di cabang eksekutif maupun di legislatif. Kalau selama ini pimpinan dianggap tidak aspiratif, di tingkatprovinsi atau kabupaten kota, ya carilah orang yang dianggapbisa memimpin daerahnya lebih baik. Kalau selama ini anggotaparlemen dianggap tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, silakan coblos orang yang dinilai nanti akan dapat menjalankanaspirasi. (Khusus untuk calon presiden karena Joko Widodo tidak lagi maju maka tidak dibahas di sini, semua calon adalah“orang baru”, jadi silakan yang dianggap cocok untukmemimpin Indonesia lima tahun ke depan).
Di luar fungsinya sebagaimana disebutkan dalam UU Pers No 40/1999, ada hal lain yang menjadi pembicaraan yakni terjunnyasejumlah orang pers menjadi calon legislatif (dan mungkin jugamenjadi calon pimpinan daerah nantinya).
Bulan Desember tahun 2022 lalu sebagai antisipasi Dewan Perssudah mengeluarkan Surat Edaran No.1, yang antara lain menyatakan, orang pers yang mencalonkan diri di cabangeksekutif ataupun legislatif, agar non aktif dari dunia pers, bahkan kalau bisa mengundurkan diri. Maksudnya tidak lain adalah agar tidak ada percikan kepentingan sekecil apapun dariprofesi sebagai wartawan dan bekerja di media, dalampemberitaan pemilu dan tahapan-tahapannya.
Saya sendiri berpendapat, sebenarnya setelah mencalonkanmelalui partai politik dan masuk ke dalam daftar calonsementara DCS), seorang wartawan atau pengurus organisasiwartawan harus mengundurkan diri dari kepengurusan bahkankalau bisa dari profesi wartawan. Mustahil dan tidaklahmungkin wartawan sehebat apapun kalau sudah menjadi calonsebuah partai politik, bersikap independen, dalam menyikapiapapun, terlebih-lebih urusan perpolitikan.
Dia sudah menjadi petugas partai, harus loyal pada ideologipartai, loyal pada program kerja dan tujuan partai, tidak laginetral dan bersikap berimbang. Yang dia perjuangkan pastilahkepentingan partai apabila terjadi konflik pemikiran, gagasan, ataupun peristiwa di lapangan.
Alangkah elok bila para calon tadi menyampaikan ke hadapanpublik, saya sudah berhenti (sementara atau tetap) sebagaiwartawan, atau sebagai pengurus organisasi wartawan ataupunmedia. Terjaga kredibilitasnya dan terjaga marwahnya. Tidakdianggap main dua kaki, ya wartawan ya politisi sekaligus, agar kalau jeblok di sana lalu bergeser lagi ke posisi semula.
Soal ini saya salut dengan teman-teman dari PWI Jawa Timur. Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jatim, Ferry Is Mirza, mundur dari jabatannya karena telah berketatapan hati menjadicalon anggota legistlatif dari PKS. Ashadi mundur dari posisiKetua PWI Gresik karena maju sebagai caleg. Sebelumnya di Jakarta, ada pula Dhimam Abror yang mengundurkan darikedudukan anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat karenamemilih menjadi tim sukses calon presiden.
Contoh baik harus ditiru karena itulah cara yang elegan, yang menunjukkan jati diri sebagai wartawan yang faham dan taatpada Kode Etik Jurnalistik. Bukan malah ngotot denganberbagai alasan, masih calon sementara lah, belum tentu lolossebagai calon tetaplah, dsb. Pilihan adalah konsekwensi. Tidakada yang memaksa pilihan, tetapi kalau sudah memilih ya harustahu diri. Jangan rugikan nama baik organisasi. ***
Kita segera memasuki bulan Juni, dan tantangan pers sampaidengan berlangsungnya pemilihan umum yang akan menetapkanpresiden, anggota parlemen, dan lalu menyusul pemilihan kepaladaerah. Setiap menghadapi event 5 tahunan ini lembaga sepertiKomisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, berbagai lembaganegara, dan Dewan Pers, aktif melakukan edukasi terhadapwartawan dan pengelola media, agar bersikap adil danmenerapkan KEJ dalam pemberitaan.
Kata seorang teman, materi tentang pemberitaan yang informatif, edukatif, sesuai PKPU, dan taat pada etikajurnalistik, harus selalu diberikan pada pengelola media danwartawan. Sebab meski dulu sudah faham, bisa jadi kini lupa, atau tergerus kondisi ekonomi yang sulit. Dulu tobat lalukembali kumat. Sebagai orang yang pernah di Dewan Persselama enam tahun, pengaduan tentang pemberitaan cukupbanyak, dengan jenis pelanggaran yang ringan sampai berat. Dan saya yakin hal serupa akan terjadi ketika mesin perpolitikanmulai memanas. Normal saja.
Tetapi adalah tugas kita semua untuk menjaga agar pers selaluberada di jalur yang benar, menjalankan peran dan fungsinyasebaik-baiknya, menunjukkan integritasnya, sehingga mendapatapresiasi dari masyarakat, pemerintah, penyelenggara danpeserta pemilu itu sendiri.
Wallahu a’lam bhisawab.
Komentar