Wartawan Itu Buruh?
Catatan Hendry Ch Bangun
Bertepatan dengan Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei ini, ada teman yang bertanya. Wartawan itu buruh atau bukan? Kalau 15-20 tahun lalu, saya akan dengan cepat menjawab,” Bukan. Wartawan itu profesi jadi dia itu profesional. Samadengan dokter, pengacara, arsitek.”
Di tahun-tahun itu, ketika media massa khususnya cetak masihberjaya, mereka yang disebut wartawan merupakan profesi yang jelas sosoknya. Dalam proses rekrutmen misalnya, yang melamar umumnya dari universitas kenamaan dengan nilai IPK tinggi, yang memiliki idealisme untuk bekerja bagi kepentinganpublik. Di lapangan terlihat sikap profesionalnya, di karyanyatampak kemampuan jurnalistik dan pengetahuannya, sehinggapenghargaan dari masyarakat pun tinggi.
Ya boleh jadi dari satu sisi mereka adalah staf, bekerja di sebuahperusahaan dengan status karyawan yang digaji, tetapipendapatan mereka memadai seperti profesional pada umumnya. Tidak sekadar sesuai atau lebih sedikit dari Upah Minimum Provinsi menjadi syarat dari kementerian tenaga kerja bagiburuh di pabrik.
Penghargaan bukan karena kuantitas kerjanya tetapi kualitaskarya jurnalistiknya, yang tentu disebabkan oleh kemampuan, inisiatif, kreativitas, olah pikir, kehebatan jejaring, dsb. Bukankarena banyaknya jumlah sepatu yang dihasilkan per sekian jam, atau rokok yang dilinting untuk sekian jam, sepeda motor yang dirakit dalam satu shift kerja.
Pada masa itu meskipun ada upaya organisasi wartadan daninisiatif perseorangan untuk pembentukan serikat pekerja di perusahaan media, sambutannya kurang hangat. Selain karenaasumsi bahwa dirinya bukanlah buruh, pekerja, tetapi seorangprofesional, kesejahteraan wartawan khususnya di media massaarus utama, relatif baik. Banyak yang merasa serikat pekerjabukan kebutuhan karena perusahaan dapat menangkap aspirasikaryawan dan memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam tarafyang layak.
Serikat pekerja, untuk memperhalus istilah serikat buruh yang berkonotasi konflik, sebenarnya memiliki banyak manfaat tetapisekali lagi tidak mudah merumuskan dan mengejawantahkannyasebagai solusi yang mempertemukan keinginan perusahaan dankaryawan. Sampai sekarang saya kira serikat pekerja ini masihharus berjuang agar kasus-kasus rotasi, rolling, promosi dandegradasi, PHK, pensiun diri, yang dinilai merugikan pekerja, dapat dilakukan untuk menguntungkan kedua belah pihak. Perusahaan hampir selalu menang. Atau kalaupun kalah, putusan mediasi tripartit, banyak yang tidak dijalankan.
Dewan Pers juga berkali-kali menjadi tempat mengadu kasushubungan industrial perusahaan pers dan karyawan walausebenarnya itu lebih menjadi urusan dinas tenaga kerja. Tetapiputusannya tidaklah mengikat seperti kalau ditangani dinastenaga kerja, jadi lemah dalam implementasinya. Paling jauh yamendampingi agar penyelesaian dilakukan tanpa merugikanpekerja pers, terlebih apabila kasusnya terjadi karena wartawanmengalami masalah karena dia bekerja menjaga indepensiprofesinya.***
Saat ini sudah terjadi perubahan lanskap dan proses kerjawartawan, sehingga kemandirian dan profesionalisme wartawantercemar. Anda yakin wartawan masih teguh padaindependensinya ketika melakukan tugas jurnalistiknya? Ataukah kebanyakan sudah bekerja bena-benar tunduk padasifat industri dari apa yang disebut industri pers?
Di dalam mata uji perencanaan liputan di Uji KompetensiWartawan, usulan tema dan topik liputan merupakan inisiatifwartawan. Dia juga harus menyodorkan nama narasumber, sudutpandang pemberitaan, bahkan daftar pertanyaan topik yang akandikembangkannya menjadi berita. Editor (dan juga penguji) akan menguji aktualitas dan relevansi topik itu dengan visi misimedianya, tentu juga dengan saran agar nanti beritanya layak“jual”. Bila dianggap memadai maka peserta UKW di mata ujiini akan lulus.
Inisiatif atau usulan ini lahir dari kemampuan wartawan dalammenyerap berbagai persoalan yang ada di bidang liputannyasehari-hari. Dan pemahamannya untuk menjadikannya sebuahberita yang dapat menjadi solusi, jalan keluar, atau meramaikanagar masalah itu nanti dibicarakan oleh masyarakat. Istilahsekarang mungkin, menjadikannya topik hangat atau viral.
Banyak wartawan yang terpaku pada rutinitas, hanyamemberitakan apa yang tersedia di depannya. Entah ituperistiwa, acara, jumpa pers, atau lebih parah rilis yang disediakan para pihak di tempat liputannya. Dia lupa unsur“why” yang kalau terus digali, dapat menghasilkan materiliputan menarik.
Inisiatif ini wujud independensi karena lahir dari gagasan siwartawan, dari “pertemuannya” dengan masalah yang ada di sekelilingnya. Tanpa inisiatif apakah wartawan itu profesional? Bila hanya menjalankan penugasan, arahan, dari editornya, bahkan tidak dapat atau berani untuk memberi catatan tambahanatau usulan, sulit menyebutkan profesional.
Saya kira kondisi ini sekarang terjadi di kebanyakan media massa. Saya mengamati peserta UKW, jarang sekali yang antusias menyampaikan gagasan topik liputan. Ketika dibericontoh, barulah mereka menanggapi. Semuanya datar-datar saja, seperti tidak ada persoalan.
Padahal secara teoritis, apa saja bisa digarap menjadi beritamenarik. Kalau tidak ada peristiwa, data-data yang sudah kitakumpulkan dalam kurun waktu tertentu (sebulan, setahun), entahdiperdalam atau dibandingkan, bisa menjadi berita layak baca. Data jumpa pers dinas atau lembaga, bisa dikembangkan dariberbagai sudut. Tentu ditambah, jejaring yang kuat, untukmemberi bobot pada angka-angka itu.
Membiarkan diri terjebak dalam rutinitas, menunggu peristiwajatuh dari langit, bahkan menunggu rilis yang sudah siap muat, pasti menurunkan kadar profesionalitas. Wartawan harusmembiasakan diri sensitif, curiga, suka bertanya, rajin menyapanarsum, untuk mendapatkan ide dan momen untuk memproduksikarya jurnalistik. ***
Khususnya di media siber, wartawan yang kebanyakan tidak lagibekerja di kantor, saat ini hampir semuanya ditargetkan untukmengejar kuantitas. Asal banyak, bukan sembarang berita tetapiyang bisa membetot perhatian audiensnya. Jumlah adalahpersyaratan dasar, tetapi kemudian berapa banyak yang membaca akan lebih penting, khususnya untuk jumlah rupiah yang akan diperoleh pada hari gajian.
Memproduksi banyak tentu juga buah dari kreativitas daninisiatif tapi pakemnya sudah dibuat para editor yang memberipenugasan. Topik ditentukan, yaitu yang sedang viral dandiinginkan oleh audiens. Tidak boleh nyeleneh dan keinginansendiri karena itu membuat space yang disediakan jadi sia-sia, tidak diklik orang. Ini seharusnya tidak kontradiktif, sebuahmedia umum haruslah seperti supermarket yang menyediakanberbagai hal, tetapi pada kenyataannya atasan langsung danatasannya atasan, tentu ingin medianya ramai dikunjungi dan ituartinya harus fokus topik yang sedang menjadi trend.
Kondisi ini tentu saja membuat wartawan tidak lagi begituberbeda dengan pekerja pabrik, hanya jenis barang yang diproduksi saja berbeda. Malah lebih parahnya lagi, produkpabrik yang cacat pasti diseleksi sebelum dilepas ke pasar, saatini banyak berita yang “cacat” karena melanggar Kode EtikJurnalistik, Pedoman Pemberitaan Media Siber, PedomanPemberitaan Ramah Anak, dsb, dibiarkan saja dilahap publik. Kontrol kualitas kerap bobol, karena soal kecepatan maka yang penting dimuat dulu, kalau ada yang komplain, baru dibetulkan, atau bahkan dihapus.
Wartawan profesional masih ada, dan banyak. Tetapi jumlahwartawan yang hanya menjadi pekerja sesuai pesanan boss-nyalebih banyak lagi. Boss-nya itu bisa pemilik media, bisa jugalembaga tempat dia meliput, atau pihak-pihak yang tidakkelihatan yang ingin agar citra dirinya baik di depan masyarakat.Banyak yang tidak lagi independen, dan tidak lagi sesuai denganmoral dan etik profesinya.
Lalu, apakah wartawan itu buruh atau profesi? Wallahu a’lambishawab.