Proyek Terminal LNG Teluk Lamongan
BPK mengungkap proyek pembangunan terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur milik PGN berpotensi merugikan negara ratusan miliar. Kerugian negara timbul karena proyek senilai Rp383,2 miliar yang dimulai sejak 2019 itu mangkrak dan tidak bisa dimanfaatkan.
Pada 2018 PGN berinisiatif membangun proyek terminal LNG Teluk Lamong ini. Tujuannya saat itu untuk mengatasi penurunan pasokan gas di wilayah Jawa Timur. Proses studi kelayakan dan analisis keekonomian pun dilakukan demi mendukung perencanaan proyek. Salah satunya menggunakan data Neraca Gas Bumi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2018-2028 yang disusun fungsi Business Unit Gas Product atau BUGP.
Kemudian pada 2019 Direksi PGN menyetujui proyek LNG Teluk Lamong lewat keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID). Pendanaannya bekerja sama dengan PT Pelindo Energi Logistik (PEL) anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia III (Persero).
PGN menujuk PT PGN LNG atau PT PLI salah satu anak perusahannya sebagai pemilik proyek pembangunan terminal LNG Teluk Lamong. PT PLI lalu menunjuk PT PGAS Solution atau PGASol selaku anak perusahannya sebagai pelaksana pekerjaan terminal LNG dengan kapasitas gas 40 juta kaki kubik per hari (MMscfd) tersebut.
Dalam pelaksanaanya, proyek ini dibagi menjadi dua fase. Fase pertama berupa pekerjaan terminal regasifikasi darat atau onshore regasification unit (ORU), depo pelayanan gas skala kecil atau filling station, dan cryogenic pipeline atau pipa kriogenik. Sedangkan fase kedua meliputi pembangunan flat bottom tank atau FBT.
Proyek ini awalnya ditargetkan beroperasi akhir 2019 dan rampung keseluruhan pada 2023. Namun hingga kekinian terminal LGN Teluk Lamong belum dapat beroperasi, karena pembangunan FBT belum terealisasi. Sementara PGASol selaku pelaksana pekerjaan tidak bisa menggarap proyek fase kedua tersebut karena Direksi PGN belum meneken perubahan keputusan investasi akhir atau re-FID. Direksi PGN beralasan masih harus mempertajam sejumlah variabel keekonomian, seperti pasokan LNG serta permintaan pelanggan.
Selain berpotensi merugikan negara Rp383,2 miliar, BPK dalam dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya dan Investasi Tahun 2017 sampai semester I 2022 pada PT PGN Tbk yang diterima tim redaksi Suara.com, mengungkap sejumlah dampak lain akibat proyek mangkrak ini. Salah satunya PT PLI pada tahun 2022 harus menanggung biaya pemeliharaan atas aset yang belum beroperasi tersebut senilai Rp1,1 miliar. Nilai tersebut merupakan nilai biaya pemeliharaan yang ditagih PGASol untuk periode lima bulan terhitung 14 Juni hingga 13 November 2022. Sedangkan berdasar penjelasan PNG kebutuhan biaya pertahun yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan kondisi sarana prasarana yang sudah dibangun sebesar Rp2,8 miliar pertahun.
Proyek bikin buntung negara ini menurut laporan BPK salah satunya akibat keputusan Direksi PGN tahun 2019 menyetujui investasi tanpa memitagsi risiko secara matang. Kemudian Direksi PGN tahun 2022 juga belum dapat memastikan kelanjutan pembangunan terminal LNG Teluk Lamong. Sementara BUGP sebagai sponsor proyek menyajikan data yang tidak akurat terkait Neraca Gas Bumi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2018-2028.
Atas hal itu, BPK dalam laporannya merekomendasikan agar Direksi PGN berkoordinasi dengan Direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan masalah ini ke aparat penegak hukum.