Sosok Noni Belanda Penasaran: Gangguan di Balik Dinding Gedung Walikota Palembang untuk Sang Pemimpin ‘Tak Berprestasi, Oleh Dr Dedi Irwanto MA
Palembang tidak hanya menyimpan sejarah kemegahan peninggalan Kesultanan Palembang dan jembatan Ampera. Di balik dinding kokoh Gedung Walikota (Gedung ledeng atau dikenal gedung watertoren zaman kolonial Belanda )yang menjadi ikon kota Palembang , tersembunyi kisah misteri dan narasi sosial yang terlupakan, terutama tentang perempuan dan bayang-bayang masa lalu yang konon masih menghantui.
Gedung Walikota Palembang, dengan arsitektur kolonialnya yang anggun, bukan sekadar pusat pemerintahan. Ia menyimpan cerita rakyat yang menggelitik tentang kehadiran “penghuni” tak kasat mata. Konon, walikota Palembang di masa lalu, yang kinerjanya mungkin tak terlalu menonjol dalam catatan sejarah populer, mengalami gangguan aneh selama masa jabatannya di gedung tersebut.
“Ada cerita yang berkembang,” ungkap Sejarawan Sumatera Selatan (Sumsel) dari Universitas Sriwijaya (Unsri) , Dr. Dedi Irwanto, M.A., kisah seorang walikota-walikota di Palembang baik era kolonial Belanda dan era Kemerdekaan Indonesia yang konon kerap merasa tidak nyaman, bahkan mengalami gangguan semacam ‘kehadiran’ Noni Belanda yang mengganggu di kantornya, terutama saat malam hari. Suara langkah kaki tanpa sumber, perasaan diawasi, atau benda yang berpindah sendiri dan bergerak sendiri.” katanya, Senin (30/5/2025).
Kisah mistis ini menurut Irwanto, melekat pada ruang-ruang tua gedung itu. “Ini mungkin lebih merupakan cerita rakyat yang mencerminkan suasana gedung tua atau bahkan keresahan tertentu di masa itu,” tambahnya, menekankan aspek kultural dari legenda urban tersebut.
Apalagi di zaman Jepang, Noni Belanda ini sempat mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari tentara Jepang hingga meninggal dunia.
Selain itu , pembangunan Gedung Walikota itu sendiri menyimpan sejarah kelam. Irwanto mengungkapkan insiden era Walikota Palembang zaman Kolonial Belanda P.E.E.J. le Cocq d’Armandville berniat mempercepat pembangunan gedung ini dengan cara yang kontroversial yaitu dengan memotong gaji pegawai negeri sipil (PNS). “Dia memotong gaji PNS untuk membiayai percepatan pembangunan kantor walikota,” jelas Irwanto.
Tindakan ini menuai protes keras dan berujung pada pemecatan sang walikota. Proyek kemudian diambil alih, dan pendanaannya dialihkan sepenuhnya dari pusat.
“Dana dari pusat itu, menariknya, sebenarnya berasal dari setoran kas Keresidenan Palembang sendiri,” ungkap Irwanto.
Fakta ini mengungkap potret Palembang di era kolonial sebagai kota yang sangat makmur. “Waktu itu kas Palembang luar biasa besarnya,” papar Irwanto. Pemerintah Kota (Gemeente) Palembang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang sangat kuat. Sistem perpajakannya bahkan terbilang ekstensif dan detail.
“Bukan hanya pajak biasa, tapi juga pajak untuk memelihara hewan kena pajak, kalau membawa pembantu dari uluan ke Palembang itu kena pajak , bahkan melahirkan kena pajak jadi luar biasa!” ujarnya menggambarkan betapa komprehensifnya pemasukan kota Palembang saat itu
Dari pajak-pajak inilah, dalam waktu relatif singkat , Palembang telah meraup keuntungan yang signifikan. Keuntungan ini menjadi motor penggerak modernisasi kota Palembang.
“Kita bisa membangun Pasar 16 Ilir waktu itu ,” contoh Irwanto. Pasar itu kemudian disewakan, menghasilkan pemasukan berkelanjutan yang digunakan untuk merenovasi dan memperluasnya berulang kali (1912, 1922, 1932). Modernisasi pun merambah ke infrastruktur fisik,”katanya.
Modernisasi membutuhkan ruang dan teknologi baru. Palembang, yang topografinya berupa rawa dan dialiri banyak sungai (seperti Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak di sekitar lokasi Gedung Walikota), menghadapi tantangan besar membangun gedung tinggi yang stabil.
“Di sinilah peran perusahaan-perusahaan Belanda, seperti pabrik semen,” jelas Irwanto. Dia menyebutkan “N.V. Portland Cement Maatschappij” yang kemudian dikenal sebagai Semen Padang, sebagai penyedia semen Portland pertama di Indonesia. “Mereka punya relasi baik dengan perusahaan baja di Amerika Serikat sehingga membawa baja ke Palembang,”sambungnya.
Gedung Walikota Palembang pun menjadi pionir. “Ini adalah gedung pertama di kota ini yang dibangun dengan *beton bertulang* (rangka besi/baja),” tegas Irwanto.
Teknologi ini relatif baru dan maju pada masanya, bahkan dibandingkan dengan gedung-gedung bergaya Eropa di Jakarta seperti Gedung Bank Indonesia (ex De Javasche Bank) di Jalan Pintu Besar Utara yang saat itu mungkin belum sepenuhnya menggunakan konstruksi beton bertulang modern. “Saya yakin, jika bangunan-bangunan sekarang dibangun dengan kualitas dan teknik seperti masa Belanda, mungkin tidak akan sehebat bangunan-bangunan warisan kolonial itu,” ujar Irwanto.
Melompat ke topik lain yang tak kalah penting, Dr. Dedi Irwanto mengangkat paradoks posisi perempuan Palembang di zaman kolonial. “Secara hukum dan norma, perempuan saat itu cukup dilindungi,” ujarnya. Namun, yang menarik adalah aspek pendidikan dan partisipasi publik.
“Di masa kolonial, cukup banyak perempuan Palembang yang bersekolah tinggi, ,” jelas Irwanto .
Irwanto menyoroti sebuah realitas: “Perempuan Palembang zaman dulu, setelah menikah, ternyata dalam kehidupan sehari-hari tidak ada yang bisa ‘melompat menjadi seorang pemimpin.” Meski berpendidikan baik, dominasi peran domestik dan struktur sosial yang patriarkis membatasi ruang gerak mereka di ranah publik dan politik..