Sedangkan Dewan Pakar Sekretariat Nasional Wayang Indonesia Amin Prabowo mengajak masyarakat Sumsel untuk tak henti-hentinya berkarya di bidang kebudayaan bangsa yang adiluhur ini agar wayang kulit Palembang dapat selalu menjadi sebuah tontonan tontonan yang menarik yang mengandung tuntunan .
Sedangkan dalang Wayang Kulit Palembang Ki Agus Wirawan Rusdi menjelaskan pada tahun 1980 an Wayang Palembang cukup dikenal, di bawah naungan Abdul Rasyid (alm), yang merupakan Dalang Wayang Kulit Palembang.
Kemudian dilanjutkan anaknya yang bernama Rudi Rasyid (alm). Lalu wayang Palembang sempat mati suri.
Berpulangnya Rusdi Rasyid menjadi semacam titik balik bagi perjalanan wayang Palembang.
Akhirnya dalam sebuah pertemuan keluarga, Ki Agus Wirawan Rusdi atau yang sering disapa Wirawan yang merupakan anak sulung dari sembilan anak dalang Rusdi mengaku didaulat untuk menggantikan sang bapak sebagai dalang wayang Palembang
“Saya mempelajari wayang kulit Palembang sejak 2004 dan baru berani tampil ke publik sejak 2006,” kata Wirawan.
Berbekal sejumlah kaset rekaman saat sang bapak mendalang, sedikit demi sedikit Wirawan mulai belajar menirukan suara yang ada di pita kaset.
Akhirnya pada 2006 ia berani tampil untuk pertama kalinya, hingga saat ini.
Wirawan menceritakan, awal mula bangkitnya wayang Palembang di tahun 1950 an, ketika berdirinya Sangar Sri Wayang Kulit Palembang dan itu hanya satu-satunya di Palembang.
“Pada 1950 Wanda saya bercerita, didirikan Sangar melihat dari permainan anak-anak di 36 Ilir. Mereka main wayang-wayangan dari lidi. Bapak-bapak melihat anaknya main lidi tadi yang dibuat wayang-wayang dengan iringan gamelan berupa ember dan lain-lain. Dari situlah kakek berinisiatif untuk buat hiburan wayang,” ungkapnya
Pria berusia 50 tahun ini mengatakan, dengan inisiatif tersebut kakek mengajak warga di kelurahan 36 Ilir patungan untuk beli alat-alat gamelan, ada saron, kenon dan bonang, serta gendang.
Dengan alat inilah berdirilah Sri Wayang Kulit Palembang. Setelah itu Wayang kulit jadi kegemaran warga 36 Ilir.
“Dulu masih ada 100 wayang, namun sejak 1986 terjadi kebakaran, apa terbakar atau seperti apa kurang tahu juga karena waktu itu saya masih SD,” katanya.
Menurutnya, kalau zaman dulu pagelaran wayang tidak dibayar uang tapi sembako, bisa beras dan lain-lain. Bahkan sering tidak dibayar, tapi diberi makan, minum dan kopi. Meskipun begitu mereka tetap senang.
“Untuk saat ini tinggal saya satu-satunya dalang Wayang Kulit Palembang,” katanya.
Budayawan Sumsel Vebri Al Lintani menambahkan, Wayang Palembang sempat mati suri atau fakum dari 1990 an sampi 2000an. Pada 2004 inilah Wirawan kembali menghidupkan Wayang Kulit Palembang. (oska)