Muba maju Lebih Cepat
Minuman Alfaone
OPINI  

Sainstisasi Tradisi Serasan Sekundang: Bagaimana Wujudnya?, Oleh : Dr. Mohammad Syawaludin. MA, Dosen pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

05E74428 F2C9 4B89 B9ED A8DA50F4D2FF

Sainstisasi Tradisi Serasan Sekundang: Bagaimana Wujudnya?,

Oleh : Dr. Mohammad Syawaludin. MA, 

Dosen pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Artikel ini tidak untuk menilai atau mendudukan sesuatu dalam dimensi baik atau buruk, tetapi hanya sebuah ekspresi untuk memotret keberlanjutan falsafah lokal. Sainstisasi tradisi adalah proses mengkaji, mendokumentasikan, dan menganalisis nilai, praktik, dan simbol dalam tradisi budaya secara sistematis menggunakan pendekatan keilmuan—baik dari sudut sosiologi, antropologi, etnografi, ilmu politik, pendidikan, hingga filsafat dan teologi. Tujuannya adalah agar tradisi tidak hanya hidup secara turun-temurun, tetapi juga dapat yakni dibuktikan kontribusinya terhadap masyarakat modern, diintegrasikan dalam kebijakan publik, pendidikan, dan pembangunan, dibahas dalam ruang akademik sebagai bagian dari kearifan lokal yang rasional dan kontekstual.

Dalam kehidupan masyarakat Muara Enim, Sumatera Selatan, falsafah Serasan Sekundang merupakan inti nilai yang telah mengakar kuat dalam kesadaran kolektif. Falsafah ini berasal dari dua kata: serasan yang berarti “sejalan” atau “sehati sepikir”, dan sekundang yang berarti “saudara” atau “kerabat dekat”. Secara konseptual, Serasan Sekundang adalah ekspresi budaya lokal yang menekankan pentingnya hidup dalam keharmonisan, kebersamaan, dan persaudaraan, serta mencerminkan sistem nilai yang tidak hanya hidup dalam tataran simbolik, tetapi juga membentuk pola pikir, perilaku, dan identitas sosial masyarakat Muara Enim. Bagi masyarakat asli atau pribumi Muara Enim, Serasan Sekundang tidak hanya dipahami sebagai semboyan daerah, melainkan sebagai jati diri dan pegangan hidup yang diwariskan secara turun-temurun. Makna yang dikandungnya bukan hanya normatif, tetapi juga menyangkut kehormatan keluarga, harga diri komunal, dan kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat. Serasan Sekundang menjadi pengikat antargenerasi dan antarkelompok, terutama dalam menyelesaikan konflik secara kekeluargaan, memperkuat musyawarah dalam pengambilan keputusan, serta menjaga nilai-nilai gotong royong, tenggang rasa, dan rasa malu sebagai kontrol sosial.

BACA JUGA INI:   Paradoks Ekonomi 08

Dari dimensi sosial, falsafah ini memainkan peran sentral dalam menjaga kohesi masyarakat multikultural. Di tengah keberagaman suku dan budaya—seperti Melayu, Komering, Jawa, Batak, dan Sunda—Serasan Sekundang menjadi payung nilai yang menyatukan masyarakat dalam semangat saling menghargai dan bekerja sama. Tradisi gotong royong, musyawarah desa, kerja bakti membangun masjid, hingga partisipasi kolektif dalam hajatan dan musibah adalah bukti konkret nilai-nilai ini hidup dan dijalankan. Di tengah arus individualisme modern, Serasan Sekundang menjadi kekuatan budaya yang menjaga masyarakat tetap utuh, akrab, dan tangguh secara sosial. Dalam aspek politik kebudayaan, Serasan Sekundang telah diangkat sebagai semboyan resmi Kabupaten Muara Enim, sekaligus dijadikan sebagai filosofi pembangunan. Pemerintah memosisikannya sebagai instrumen pemersatu masyarakat sekaligus sebagai legitimasi moral atas arah kebijakan berbasis kearifan lokal. Nilai-nilai kolektif yang terkandung di dalamnya, seperti partisipasi, musyawarah, dan tanggung jawab sosial, digunakan untuk menguatkan model pembangunan partisipatif. Dengan demikian, Serasan Sekundang bukan hanya warisan budaya, tetapi telah mengalami transformasi fungsional dalam konteks tata kelola pemerintahan dan relasi kekuasaan yang berakar pada nilai-nilai lokal.

Dari perspektif keagamaan, Serasan Sekundang tidak dapat dilepaskan dari karakteristik budaya Melayu-Islami.Tradisi masyarakat Muara Enim menunjukkan bagaimana nilai-nilai adat tidak bertentangan dengan Islam, melainkan saling melengkapi. Prinsip seperti “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah” menjadi dasar relasi harmonis antara norma adat dan norma syariat. Kegiatan-kegiatan seperti pengajian bersama, gotong royong membersihkan masjid, membantu fakir miskin saat Ramadan, dan mendamaikan pertikaian keluarga menunjukkan integrasi antara nilai ukhuwah, ta’awun, dan musyawarah dalam bingkai Serasan Sekundang. Nilai-nilai ini telah membentuk Islam lokal yang berakar pada budaya dan mendorong umat untuk hidup beragama secara sosial, santun, dan kontekstual.

BACA JUGA INI:   Kesepakatan Jokowi-Xi Jinping Diam-diam Memiliki Potensi Risiko Laten Ekonomi Indonesia, Apa Saja?

Dalam era globalisasi dan transformasi sosial, penting untuk membawa falsafah-falsafah lokal seperti Serasan Sekundang ke dalam ranah ilmiah, melalui proses yang disebut sainstisasi tradisi. Sainstisasi berarti menjadikan nilai dan praktik tradisional sebagai objek kajian ilmiah, dengan pendekatan metodologis yang dapat diuji, dijelaskan, dan dikembangkan. Proses ini menjadikan Serasan Sekundang tidak hanya sebagai simbol budaya, tetapi sebagai sumber pengetahuan lokal (local wisdom) yang memiliki kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu sosial, pendidikan karakter, kebijakan publik, dan keagamaan kontekstual. Dalam hal ini, nilai-nilai tradisi menjadi tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diperkuat secara teoritis dan empiris dalam kerangka ilmu pengetahuan modern.

Untuk mendekati tradisi ini secara ilmiah, pemikiran Alfred Schutz menjadi salah satu pendekatan teoritis yang relevan. Schutz dalam teori fenomenologi sosialnya memperkenalkan konsep “dunia kehidupan” (Lebenswelt)—yakni realitas sosial yang dipahami dan dijalani bersama oleh individu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Serasan Sekundang adalah pengetahuan sosial yang terbentuk melalui proses intersubjektif dalam kehidupan komunitas.Melalui pendekatan ilmu pengetahuan, Serasan Sekundang dapat dipahami sebagai bagian dari ilmu pengetahuan lokal (local knowledge) yang bernilai epistemologis dan dapat disainstisasi. Sainstisasi tradisi berarti menjadikan tradisi sebagai objek ilmiah yang dapat dikaji secara sistematis, rasional, dan kontekstual. Nilai-nilai Serasan Sekundang dapat dianalisis melalui pendekatan sosiologis, antropologis, teologis, maupun pendidikan karakter. Proses ini tidak menghilangkan nilai tradisional, justru mengangkatnya menjadi sumber pengetahuan yang hidup dan kontributif dalam menjawab tantangan masyarakat modern.. Tradisi seperti Serasan Sekundang adalah bagian dari pengetahuan sosial yang terbentuk dalam interaksi, diwariskan secara kultural, dan dijalani sebagai sesuatu yang taken for granted. Dengan kata lain, Serasan Sekundang merupakan struktur makna kolektif masyarakat Muara Enim yang membentuk cara pandang mereka terhadap dunia, kehidupan, dan hubungan antar manusia. Dalam perspektif Schutz, melakukan sainstisasi terhadap tradisi ini adalah proses penting untuk mengangkat pengetahuan yang tersembunyi dalam praktik sehari-hari ke dalam ruang akademik dan ilmiah.

BACA JUGA INI:   Semangat Emansipasi Kartini di Dunia Jurnalistik, Oleh :Umi Sjarifah adalah Pemimpin Redaksi Majalah Sudut Pandang, Sudutpandang.id, Bendahara Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) dan Wakil Bendahara PWI Pusat

Dengan demikian, falsafah Serasan Sekundang bukanlah sekadar warisan masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus menata masa kini dan memberi arah bagi masa depan. Iaadalah narasi kultural yang menyatukan sosial, politik, agama, dan ilmu pengetahuan dalam satu tubuh nilai yang utuh. Oleh karena itu, kajian mendalam terhadap tradisi ini bukan hanya penting untuk pelestarian budaya, tetapi juga untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan memperkuat fondasi kehidupan bermasyarakat yang lebih berkeadaban dan kontekstual.@

lion parcel