Profesi Kita dan Ghibah, Oleh
Catatan Hendry Ch Bangun
Sebenarnya saya ingin puasa menulis di bulan Ramadhan inikarena takut ghibah. Sederhananya ghibah itu membicarakanorang lain tanpa kehadirannya. Bila diperluas orang lain itu bisajadi pihak lain, kelompok lain, lembaga lain dst. Ghibah jugabisa berbentuk tulisan, tentu saja, entah itu di media massa ataumedia sosial. Keinginan absen itu gagal karena banyak sekali halyang merangsang untuk ditulis, salah satunya fenomena di media siber dan media sosial.
Saat menulis sering secara tidak sengaja kita membawa-bawapihak lain, orang lain. Mungkin maksudnya untuk memperjelas, memberikan contoh, menggambarkan. Padahal kalau tergolongghibah maka dosanya amat besar. Diibaratkan memakan bangkaisaudara sendiri. Melakukan itu di bulan suci, mengerikan sekalikarena kita sedang berupaya menahan diri dari dosa kecil eh ternyata malah melakukan kesalahan besar.
Satu hal dulu, wartawan yang telah bekerja puluhan tahunpastilah sudah terbentuk watak yang kritis dan memandangsesuatu dengan skeptis. Curiga, tidak mudah percaya, mempertanyakan, mencoba melihat dari sisi negatif, otomatismuncul kalau ada peristiwa dengan tujuan untukmenyeimbangkan informasi yang datang dari pihak lain.
Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, wartawan yang serbamaklum dan langsung percaya. Kalau ada press release, pastidicek dari sumber lain, bagaimana duduk perkaranya. Bila adakabar burung pelantikan seseorang, semua kontak akandihubungi agar ketika peristiwa itu terjadi, informasi yang diperoleh sudah komplet dari semua arah. Ini berpotensi ghibah.
Sifat dasar ini akan terus terbawa di luar pekerjaan. Dalamberbagai perannya di masyarakat, di lingkungan sosial, ataupunorganisasi, kecenderungan kritis, mempertanyakan, tidak mudahpercaya, salah satunya pastilah muncul. Selalu ada dinamika, membuat situasi rapat misalnya menjadi ramai, yang memunculkan gagasan-gagasan positif. Dari sisi ini maka kalauada lembaga yang memasukkan wartawan menjadi pengurusdengan tujuan agar komunikasi dengan pihak luar menjadimudah, itu hanya separuh benar. Ia menghidupkan organisasi.***
Soal ghibah ini, saya ingat rekan Ilham Bintang pernahmengundang KH Said Aqil Siradj ke kantor PWI Pusat, agar memberi pemahaman yang benar kepada rekan pengurus. Konteksnya, PWI memberi pengakuan status wartawan kepadamereka yang meliput entertainmen, dengan maksud agar merekadiberi bekal kode etik jurnalistik. Karena kebanyakan beritanyabersifat gossip tentang artis dan lingkungannya, maka perlupemahaman mana batas boleh dan tidak agar tidak terjebakghibah. Di sisi lain, rambu etika dan moral wartawan untukmemproduksi berita di media massa hanyalah Kode EtikJurnalistik.
Secara umum KH Said Aqil Siradj menjelaskan, ghibah ituintinya membicarakan orang lain.
“Kalau faktanya benar bagaimana Pak Kyai?” “Tetap ghibah,” jawabnya mantap.
“Walaupun dikonfirmasi?” “Ya ghibah.”
Maka buntulah upaya wartawan yang hadir untuk mendapatkankompensasi agar boleh membuat berita yang nyerempet-nyerempet gossip. Tentu saja tidak ada larangan, itu hanyarujukan, silakan pikirkan dan keputusan ada di tangan sendiri.
Entah karena menjalankan pekerjaan sesuai panduan dari kantoratau karena keyakinan akan profesinya, sajian media entertainman di media cetak maupun penyiaran, tidak berubahwalau sempat beberapa saat sesuai kode etik jurnalistik. Karenafaktanya, berita “baik-baik” tentang artis kurang menjual, tidakmerangsang untuk ditonton, dan ada penurunan rating (waktuitu). Sempat tobat akhirnya kembali kumat.
Kondisi sekitar 10 tahun lalu itu kini berubah atau berbeda. Bukan lagi media entertainmen yang menjadi raja dari segalagossip tetapi media siber dan media sosial yang dimirip-miripkan media massa. Saya sebut dimirip-miripkan karenamemang cara memberitakan tidak mencerminkan sifat media massa yang paling dasar, berimbang, konfirmasi, tidak beropinisendiri.
Membaca media siber ini ya seperti membaca press release sebenarnya karena beritanya satu arah. Ada orang kirimpendapatnya tentang satu hal, dimuat. Lalu muncul pendapatdari arah lain muat lagi. Sekali menuding satu pihak, berikutnyamenuding pihak lain. Ada yang bilang media begini sepertikeranjang sampah, apa saja informasi ditampung laludimuntahkan. Tidak ada upaya mendudukkan persoalan, menyeimbangkan informasi, malahan menambah rumit agar audiensnya penasaran dan mengklik terus.
Ciri berikutnya tentu saja judul yang mencolok atau menohokatau apalah, silakan simpulkan. Saya jadi teringat dosen sayadulu di mata kuliah Komposisi, Gorys Keraf, yang setiap saatmengingatkan istilah “kata kunci”. Artinya di setiap kalimat adakata kunci, inti dari kalimat itu, yang berguna untuk memahamiapa pesan yang ingin disampaikan.
Sementara di media mirip media massa di atas, kata kuncinyaadalah kata yang paling mudah untuk menjadi ghibah. Menjadigossip, agar segera disantap audiens yang memang sudah laparuntuk membaca kabar “miring”. Padahal asupan informasiseperti itu sebenarnya memberi dampak negatif bagi si audiens. Ibaratnya, kalau biasa makan makanan busuk, sudah tidak enakmenyantap makanan segar atau higenis. Mengerikan.
Lebih miris lagi, masyarakat yang kurang bisa membedakanmedia massa dan media mirip media massa, akan menyimpulkanbegitulah wajah pers di Indonesia. Tidak ada bedanya denganmedia sosial. Lama-lama tingkat kepercayaan akan merosot, meski media berkualitas berjuang mati-matian untuk bertahan di tengah himpitan pendapatan berkurang, biaya operasional naik, dan generasi muda kian menjauhi media konvensional. ***
Media sosial di bulan Ramadhan berjalan sebagaimana biasanya. Bussiness as usual. Sumpah serapah, cari maki, kata-kata kotor, masih hadir, khususnya mereka yang menjadikan medsossebagai lahan cari makan atau cari identitas diri. Walau di sisilain, asupan rohani yang sejuk, mengingatkan agar berbuat baik, yang mengetuk hati untuk membantu sesama, juga gencar di berbagai platform. Ibarat lalu lintas, mirip jalan tol. Ada yang setia di jalurnya meski macet, ada yang ambil jalur haram ataumenggunakan lampu berkilau-kilau, strobo, karena merasadirinya paling berhak untuk cepat.
Sebagaimana pernah dilontarkan wartawan dan sastrawanMochtar Lubis, kita ini memang bangsa munafik. Tahu apa yang benar, tahu aturan, mengritik orang yang melanggar aturan yang ada, tetapi kita sendiri melanggarnya juga. Di rumah, di depantetangga, bertampang saleh. Di jalan raya, di media sosialmenjadi manusia garang yang bertindak sesukanya.
Posisi sebagai wartawan membuat kita sulit. Memproduksiberita yang sesuai kode etik jurnalistik saja masih berpotensighibah, artinya kita harus serba awas, super hati-hati agar informasi yang kita ingin sampaikan dalam bentuk berita, amandunia akhirat. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untukmengecilkan hati wartawan muda, yang bersemangat melakukankontrol sosial, menghantam korupsi dan penyalahgunaanjabatan, menghajar nepotisme, menghajar pejabat yang tamakdst. Tetapi untuk mengingat bahwa profesi wartawan itu mulia, yang hasil kerjanya bisa dipertanggung-jawabkan lahir danbatin, perlu terus mengasah diri agar makin terampil.
Tentu tidak mudah. Mumpung masih Ramadhan, ada baiknyakita sesekali refleksi diri, untuk menemukan titik temu hatinurani dan profesionalisme, kedudukan sebagai makhlukNyayang tunduk dan tuntutan pekerjaan yang duniawi. Merenung itupenting dan perlu.
Wallahu a’lam bhisawab.
Ciputat 13 April 2023