Sebelum keluar peraturan ini, keberadaan Ombudsman di sebuah media hanyalah berbentuk imbauan walau sudah banyak yang memilikinya. Melalukan diseminasi informasi soal ini perlu sedikit usaha karena tidak semua pengelola media, termasuk boss-nya mengerti apa dan bagaimana kedudukan Ombudsman di media mereka. Tidak hanya di media kecil dan mandiri, tapi juga media besar yang berada di grup besar.
Biasanya kami yang dulu melakukan verifikasi administrasi dan faktual, memberikan penjelasan dengan sederhana, supaya tidak salah faham.
Salah faham pertama, Ombudsman dikira penasehat hukum. Lalu kami jelaskan, kuasa hukum itu tujuannya adalah untuk mewakili media apabil ada somasi, pengaduan, dari masyarakat yang merasa dirugikan dengan pemberitaan. Ini juga sekarang wajib dimiliki, kalau dulu tidak perlu yang tetap, cukup bersifat adhoc, apabila ada kasus.
Kuasa hukum memang perlu, kadang dengan dicantumkan namanya, audiens yang berangasan, entah itu pejabat publik, ormas, organisasi-organisasi, berpikir dua kali untuk berlaku ugal-ugalan. Juga kalau kasus pers dijadikan kasus pidana dan perdata, bukan mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers.
Salah faham kedua, dikira Ombudsman tempat parkir pensiunan wartawan di media itu. Ya sebenarnya kalau ada beberapa—sebaiknya ganjil—boleh salah satunya adalah mereka yang pernah menjadi bagian dari pengelola. Karena pensiunan biasanya kritis. Lalu dia dapatkan meluruskan kredo jurnalisme dan jurnalistik, dan memberi perhatian pada penerapan kode etik jurnalistik di media itu.
Tetapi dua orang lagi misalnya tokoh masyarakat dan cendekiawan perguruan tinggi. Bagi media lokal kehadiran tokoh adat, tokoh agama, pemuka yang dihormati warga setempat, akan membuat medianya dipandang kredibel. Sekaligus dapat menyerap aspirasi warga tempatan, agar berita yang disajikan sebanyak-banyak mewakili kepentingan lokal. Termasuk dalam hal ini soal sudut pandang. Jangan melulu meneruskan kepentingan pusat dan melupakan hal-hal yang menunjukkan sudut padang atau kearifan lokal.
Sementara cendekiawan—maaf, bukan pengamat—akan memberikan masukan luar biasa dalam menjadikan berita sebuah media terlihat berkualitas intelektual. Tidak sekadar informasi apa adanya, informasi searah dari pihak ataupun lembaga yang ingin menonjolkan presyadinya, atau bahkan kepentingan kepala daerah dan perangkatnya. Tetapi informasi berbobot, yang lengkap dan kritis, memberikan perspektif atau solusi, angle-nya kepentingan publik, sehingga dihargai para pihak sekalipun berbeda pendapat.
Melihat dari sisi ini maka kedudukan Ombudsman dalam sebuah media sangatlah penting, dan bukan sekadar penghias dan pemanis di susunan redaksi. Peran mereka vital.
Ketika dulu menyampaikan gagasan ini di ke teman pengelola daerah, mereka jadi faham mengapa media itu sebenarnya harus dekat dan melekat dengan rakyat, audiensnya. Kalaupun mereka kekurangan tenaga dan kekurangan waktu untuk selalu menyerap aspirasi pemangku kepentingan, kehadiran Ombudsman sungguh membantu.
Media tidak bisa merasa mampu membaca apa yang diinginkan masyarakatnya, tahu apa berita yang dibutuhkan pembaca atau pemirsanya, dan oleh karena itu harus ada mekanisme check and balances dengan stakeholder. Sebab kalau tidak, untuk apa media ada? ***