OPINI  

Menjawab Tantangan Demografi: Peran Perguruan Tinggi dalam Mempersiapkan Masyarakat Ramah Lansia, Oleh : Dr. H. Mohammad Syawaludin. MA, Dosen pascasarjana uin raden fatah Palembang

FABDFC11 D1F0 4063 BCBF B850C382DE3B

Menjawab Tantangan Demografi: Peran Perguruan Tinggi dalam Mempersiapkan Masyarakat Ramah Lansia,

Oleh : Dr. H. Mohammad Syawaludin. MA, Dosen pascasarjana uin raden fatah Palembang

Indonesia sedang memasuki fase bonus demografi yang tidak hanya ditandai oleh pertumbuhan penduduk usiaproduktif, tetapi juga peningkatan signifikan jumlah penduduk lanjut usia (lansia). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2023), sebanyak 11,75% atau sekitar 32 juta penduduk Indonesia telah memasuki kategori lansia, dan angka ini diprediksi meningkat menjadi 20,5% pada tahun 2045. Fenomena ini menuntut transformasi kebijakan sosial, ekonomi, dan pendidikan, termasuk peran strategis perguruan tinggi dalam membangun masyarakat ramah lansia. Artikel inisebuah ajakan memberiu tanggung jawab dan kontribusi potensial perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan penuaan populasi. Melalui pendekatan kualitatif-deskriptif, studi ini mengkaji berbagai praktik baik, seperti pengembangan kurikulum gerontologi, program pelatihan digital untuk lansia, hingga pengabdian masyarakat berbasis pemberdayaan lansia. Studi kasus Universitas Merdeka Malang, yang menginisiasi Sekolah Ramah Lansia, memperlihatkan peran konkret institusi pendidikan tinggi dalam membangun inklusi sosial bagi lansia.

Menurut Bappenas (2021), percepatan penuaan penduduk di Indonesia terjadi lebih cepat dibandingkan banyak negara lain di Asia Tenggara. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi memiliki posisi yang strategis dalam merespons tantangan tersebut, baik dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan maupun kontribusi sosial.Artikel ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana peran perguruan tinggi dapat diarahkan untuk menciptakan masyarakat ramah lansia melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Lebih lanjut, menegaskan pentingnya kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi lansia. Intervensi yang berbasis bukti dan berkelanjutan dapat mendukung pembangunan masyarakat inklusif sebagaimana tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) poin ke-3 dan ke-11. Oleh karena itu, perguruan tinggi tidak hanya bertindak sebagai pusat ilmu pengetahuan, melainkan juga sebagai agen perubahan sosial yang strategis dalam menghadapi transisi demografi  menujuIndonesia emas 2045

Namun demikian, harus diakui bahwa dalam praktiknya terdapat jarak nyata antara populasi lansia dengan institusi perguruan tinggi di Indonesia. Minimnya keterlibatan lansia dalam kegiatan kampus, kurangnya program yang secara khusus menyasar kelompok usia ini, serta rendahnya kesadaran civitas akademika terhadap pentingnya isu penuaan menjadi tantangan tersendiri. Stigma terhadap lansia sebagai kelompok pasif dan tidak produktif masih kental dalam budaya akademik. Selain itu, keterbatasan infrastruktur ramah usia di lingkungan kampus juga menjadi hambatan utama dalam membangun hubungan yang bermakna antara perguruan tinggi dan komunitas lansia. Oleh karena itu, upaya bridging atau jembatan penghubung perlu dibangun secara sistematis agar ruang akademik dapat diakses dan dirasakan manfaatnya oleh lansia secara inklusif.

BACA JUGA INI:   Semangat Emansipasi Kartini di Dunia Jurnalistik, Oleh :Umi Sjarifah adalah Pemimpin Redaksi Majalah Sudut Pandang, Sudutpandang.id, Bendahara Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) dan Wakil Bendahara PWI Pusat

Lansia dan Layanan Sosial

Menurut Laslett (1989), penuaan penduduk menandai munculnya “masyarakat usia ketiga” yang memiliki kebutuhan dan karakteristik spesifik. WHO (2021) menyarankan pendekatan berbasis lingkungan dan komunitas untuk mendukung ageing population, termasuk integrasi antar sektor. Di Indonesia, kebijakan nasional seperti RPJMN 2020–2024 telah mencantumkan penguatan layanan sosial dan kesehatan bagi lansia sebagai agenda pembangunan. Dalam kajian akademik, peran perguruan tinggi dalam gerontologi dan pelayanan sosial telah berkembang melalui berbagai program multidisipliner yang mencakup teknologi, psikologi, keperawatan, dan sosiologi.

Di Indonesia, kebijakan nasional seperti RPJMN 2020–2024 telah mencantumkan penguatan layanan sosial dan kesehatan bagi lansia sebagai agenda pembangunan. Dalam kajian akademik global, peran perguruan tinggi juga dikaji dalam berbagai disiplin:

Kajian Gerontologi Akademik: Menurut Moody & Sasser (2018), pengembangan ilmu gerontologi menjadi landasan penting bagi sistem pendidikan dan layanan sosial yang sensitif terhadap kebutuhan lansia.
Kajian Teknologi dan Inovasi Sosial: Penelitian dari Stanford Center on Longevity (2020) menekankan pentingnya inovasi teknologi dan desain inklusif berbasis usia dalam pembangunan masyarakat lansia.
Kajian Intergenerasional dan Pendidikan Sepanjang Hayat: Schuller & Watson (2009) menggarisbawahi pentingnya pendekatan pendidikan intergenerasional untuk mengatasi ageism dan memperkuat solidaritas sosial lintas usia.

Kajian di Indonesia menunjukkan keterbatasan kapasitas institusi pendidikan tinggi dalam menjangkau isu-isu lansia secara sistemik, meskipun potensi inovasi dan kerja samalintas sektor mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa praktik baik. studi dari Zhang et al. (2021), yang menekankan bahwa perguruan tinggi yang melibatkan lansia dalam program belajar sepanjang hayat mampu meningkatkan partisipasi sosial dan kesejahteraan mental mereka secara signifikan. Keterlibatan perguruan tinggi dapat dikembangkan dalam lima  aspek utama:

1. Pendidikan: Beberapa perguruan tinggi telah mulai mengintegrasikan kajian gerontologi dalam kurikulum, baik di program studi keperawatan, psikologi, maupun kesehatan masyarakat.
2. Penelitian: Perguruan tinggi memiliki kapasitas riset untuk mengembangkan model pelayanan kesehatan komunitas, teknologi asistif untuk lansia, sertapendekatan psikososial yang efektif.
3. Pengabdian Masyarakat: Universitas Merdeka Malang menjadi contoh praktik baik dalam pelibatan langsung mahasiswa dan dosen dalam aktivitas sosial, edukasi, dan pelatihan keterampilan untuk lansia.
4. Pelibatan Lansia dalam Pendidikan Sepanjang Hayat: Perguruan tinggi dapat mengembangkan program pembelajaran yang melibatkan lansia sebagai peserta didik, instruktur tamu, atau mentor, sehingga memperkuat posisi mereka sebagai subjek aktif dalam masyarakat.
5. Inkubasi Kebijakan Publik dan Advokasi Sosial: Lembaga-lembaga riset di perguruan tinggi berpotensi menjadi mitra strategis pemerintah dalam merumuskan kebijakan ramah lansia, melalui kajian akademik, riset kebijakan, dan advokasi berbasis data.

Kritik yang harus diajukan secara tegas terhadap institusi perguruan tinggi adalah kegagalan mereka dalam melihat isu penuaan sebagai agenda strategis. Banyak universitas di Indonesia masih terjebak dalam paradigma generasi muda dan cenderung mengabaikan kontribusi intelektual maupun pengalaman sosial yang dimiliki oleh lansia. Ketidakhadiran kebijakan internal kampus yang inklusif terhadap usia, serta minimnya dukungan anggaran dan riset khusus tentang lansia menunjukkan bahwa lansia belum menjadi prioritas dalam pengembangan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi perlu merefleksikan kembali posisi sosialnya: apakah hanya akanmenjadi menara gading yang eksklusif, atau menjelma menjadi simpul transformasi sosial yang terbuka, inklusif, dan berkeadilan lintas usia? \

BACA JUGA INI:   Lambannya Penetapan Cagar Budaya Kota Palembang, Oleh: Vebri Al Lintani (Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya )

Dr. Wawan G. Jati (2020) dalam tulisannya tentang “Transformasi Perguruan Tinggi di Indonesia” menyoroti ketidakmampuan perguruan tinggi untuk mengadopsi isu-isu kontemporer yang menyentuh semua lapisan masyarakat, termasuk lansia. Menurutnya, banyak perguruan tinggi masih terjebak dalam pemikiran yang sempit, yaitu mengutamakan perkembangan ilmu yang berkaitan dengan teknologi dan ekonomi, tanpa memperhitungkan dampak sosial jangka panjang terhadap kelompok rentan, termasuk lansia. Prof. Sutrisno (2021), dalam kajiannya mengenai inklusivitas dalam pendidikan tinggi, menilai bahwa perguruan tinggi di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan pendidikan berbasis hak asasi manusia yang mengakomodasi semua usia. Beliau mencatat bahwa program-program kampus yang ramah lansia sangat jarang ditemukan, dan ini menunjukkan lemahnya sistem pengelolaan pendidikan yang inklusif di perguruan tinggi. Dr. Robert Butler (2019), seorang gerontolog terkenal asal Amerika Serikat, mengkritik banyak universitas di seluruh dunia yang masih mengabaikan isu penuaan dalam kurikulum mereka. Dalam artikelnya, ia menyebutkan bahwa sistem pendidikan tinggi tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap studi tentang gerontologi dan kebutuhan lansia, meskipun populasi dunia yang menua semakin meningkat. Butler menekankan bahwa perguruan tinggi harus memperkenalkan pendidikan gerontologi lebih luas lagi untuk mempersiapkan mahasiswa dalam menghadapi dinamika masyarakat yang menua.

Prof. Sarah Harper (2020), pakar gerontologi dari Universitas Oxford, dalam bukunya “Aging Societies: The Global Demographic Revolution”, mengemukakan bahwa meskipun banyak universitas di Eropa mengintegrasikan studi tentang lansia dalam program mereka, hal tersebut belum cukup untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar ramah lansia. Perguruan tinggi, menurutnya, harus menjadi pendorong utama dalam menciptakan kesadaran tentang pentingnya pendidikan sepanjang hayat, serta menciptakan kebijakan inklusif yang melibatkan lansia dalam kehidupan akademik dan sosial. UNESCO (2021) mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi harus lebih berperan dalam memberikan pendidikan yang mendukung inklusivitas sosial, termasuk lansia. Perguruan tinggi, menurut laporan ini, harus mendobrak stigma yang menganggap lansia sebagai kelompok yang tidak relevan dalam dunia pendidikan.Pendidikan tentang penuaan dan gerontologi seharusnya dimasukkan dalam kurikulum dasar di berbagai disiplin ilmu, baik dalam bidang sosial, kesehatan, maupun humaniora.

BACA JUGA INI:   Menurut Hukum Negara, Hukum Organisasi, dan Fakta Politik Organisasi, Hendry Ch Bangun adalah Ketua Umum PWI Pusat yang Sah

Akhirnya , meskipun perguruan tinggi di Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan dalam menciptakan masyarakat ramah lansia, kenyataannya masih terdapat kesenjangan yang signifikan antara populasi lansia dan dunia akademik. Perguruan tinggi, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pengembangan sosial, memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi kebutuhan lansia dalam berbagai dimensi, mulai dari kurikulum hingga pengabdian masyarakat. Namun, ketidakmampuan perguruan tinggi dalam menghadirkan kebijakan dan program yang inklusif terhadap lansia menunjukkan bahwa isu penuaan belum dianggap sebagai prioritas utama. Penting bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan potensi besar Tri Dharma – pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat – untuk menciptakan ekosistem yang ramah lansia, melalui pengembangan kurikulum yang lebih berorientasi pada penuaan, peningkatan kesadaran di kalangan civitas akademika, serta kolaborasi dengan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Hanya dengan cara ini, perguruan tinggi dapat bertransformasi menjadi agen perubahan sosial yang inklusif, yang tidak hanya menyongsong masa depan yang lebih baik untuk generasi muda, tetapi juga memastikan bahwa lansia tetap mendapatkan tempat yang layak dalam perkembangan masyarakat.

lion parcel