OKU SELATAN-SUMSEL, ExtraNews – Perjalanan hari kedua, Minggu (29/5/2022), tim Penelitian Marga yang diketuai oleh Direktur Universitas Terbuka Palembang Dr. Meita Istianda di OKU Selatan terus berlanjut ke eks marga-marga yang ada di dataran tinggi Kisam.
Perjalanan memutar dilakukan dengan masuk sampai ke Desa Tenang di Kecamatan Kisam Tinggi yang semula eks Marga Kisam Ulu dan Desa Pulau Kemiling di Kecamatan Kisam Ilir eks Marga Kisam Ilir di pagi hari.
Selanjutnya, pada sore hari sampai pukul 20.00 malam perjalanan diteruskan ke eks Marga Bayur yang berkedudukan di Sugihan, eks Marga Kisam Tengah Suku I dan eks Marga Kisam Tengah Suku II yang berpusat di Muara Dua Kisam. Puncaknya Tim Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan tokoh Koordinator Pemangku Adat Besemah OKU Selatan, H. Pawiman Delamit di Dusun Tengah.
Sosok berusia 82 tahun ini ketika ditemui tampak masih sehat dan kuat. Pendengarannya tajam dan suara jelas. Dia mulai mengingat dan mengisahkan kembali kenangan indah di masa kehidupan marga. Beliau mulai aktif duduk di Pemerintahan Marga Kisam Tengah Suku II (Marga KTS II) pada tahun 1968 saat mulai memasuki umur 28 tahun. Melalui usulan masyarakat Dusun Tengah Beliau terpilih bersama 10 orang lainnya untuk duduk di Dewan Marga KTS II tersebut sesuai dengan jumlah dusunnya.
“Saya ikut menjadi anggota Dewan Marga KTS II selama 14 tahun. 3 periode. Dimana setiap ditunjuk dalam pancang Dewan Marga saya selalu masuk dalam 11 besar”, ingat H. Pawiman Delamit.
Syarat menjadi anggota Dewan Marga ini sama dengan syarat menjadi Pasirah menurutnya minimal tamatan SR atau pandai baca tulis dan sudah berkeluarga.
“Tugas utama Dewan Marga ini mengawasi Pasirah dalam menjalankan pemerintahan di Marga serta secara kolegial bersama pasirah membuat peraturan dan menetapkan kebijakan pembangunan marga berdasar pengeluaran dari kas marga. Selain itu kami punya kedudukan dalam mengadakan sidang untuk masalah-masalah adat yang dihadapi warga marga”, katanya.
Menurut H. Pawiman Delamit asal usul eks marga-marga di Dataran Tinggi Kisam berasal dari Suku Besemah di Pagaralam yang merantau menuruni Sungai Musi sambil membawa timbangan air.
Sesampai di Palembang timbangan air arah beratnya mengarah ke Sungai Komering. Tiba di ujung Sungai Komering, timbangan air lebih berat ke Waysaka dari pada Way Selabung. Masuk ke Waysaka, neraca berat dan ringan timbangan air kemudian sama ketika berada di Muara Air Kisam. Kondisi ini yang menyebabkan para perantau petualang dari Besemah ini memutuskan untuk membuat pemukiman di Muara Air Kisam.
Nama Air Kisam ini yang menyebutkan seluruh masyarakat di daerah-daerah di Dataran Kisam ini, kecuali di Marga Bayur, diberi nama Suku Kisam. Menurut Beliau inilah yang merupakan asal mula nama Kisam, bukan singkatan Kisit (Kisah) Malam seperti yang banyak beredar di media sosial saat ini.
“Jadi asal usul masyarakat Kisam ini berasal dari kata Kisam sebagai nama Air (Sungai). Dan kami ini berasal dari Besemah, Pagaralam. Sehingga saya sebagai orang yang dianggap dituakan diminta untuk menjadi koordinator Pemangku Adat dari Suku Besemah yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan”, katanya.
Menurutnya sistem pemerintahan Marga ini bukan bentukan Belanda.
Namun asli dan sudah ada sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam.
“Sepanjang yang saya ketahui berdasarkan catatan yang kami himpun tentang awal mula marga-marga di Kisam. Sultan Abdurrahman lah peletak dasar penyusunan marga-marga, termasuk di Kisam. Marga dilengkapi Undang-undang Simbur Cahaya yang disusun pada masa Ratu Sinuhun. Jadi, Belanda itu cuma meneruskannya saja, bahkan mengadu domba Pasirah dengan masyarakatnya,” katanya.
Buktinya, Belanda memberi gelar Pangeran kalau ada Pasirah mampu mengumpulkan pajak melebihi target selama tiga periode masa jabatan Pasirah.
Sepanjang pengetahuannya tidak ada Pasirah Marga KTS II yang mendapat gelar Pangeran. Paling tinggi Depati. Mereka dak galak memungut pajak tinggi pada warganya. Namun berusaha memajukan kehidupan marganya. Misalnya Depati Seradun, pasirah pertama Marga KTS II zaman Belanda dikasih gelar karena mereka berhasil membangun kantor dan balai marga.
Sedangkan Pasirah kedua Depati Ratu Ilyas diberi gelar karena membangun pasar marga yang dijadikan salah satu pemasukan kas marga dari restribusi pajak pasar.
“Pasirah selanjutnya Pasirah Benu bahkan dak dapat gelar. Karena Beliau sedikit melawan diam dengan memungut pajak ringan ke warganya sesuai setoran ke Belanda bae”, kenang H. Pawiman lagi,” katanya.
Menurut H. Pawiman Delamit ketika masa kemerdekaan sistem marga ini masih berlanjut. Pasirah Marga KTS II hanya dipegang oleh 2 orang saja. Pertama, Pasirah Ajisamin yang memerintah selama 18 tahun, 1950-1968. Selanjutnya Pasirah Abunawas selama 15 tahun, 1968 hingga berakhirya sistem marga tahun 1983. Keteraturan masyarakat mampu terus dijaga dalam mematuhi setiap aturan marga yang ada.
“Sebagai contoh jika ada warga yang mengambil ikan di sungai menggunakan putas. Maka warga ini akan dikenakan denda sesuai aturan Marga. Karena takut dengan aturan ini, maka tidak ada warga yang berani melakukan hal tersebut. Sehingga sungai-sungai di masa Marga terpelihara dengan baik dan ikan yang ada besar-besar. Ketika Marga dibubarkan aturan hilang dan dapat dibayangkan bagaimana keadaan sungai-sungai kita di saat ini,” katanya.
Contoh lain setiap perayaan hari besar, terutama tujuhbelasan Agustus, marga membuat aturan agar masyarakat memberi sumbangan sukarela sesuai pendapatannya. Sumbangan mandiri ini setelah terkumpul selalu membuat acara tujuhbelasan menjadi meriah dengan mengadakan acara besar-besar dan waktu pelaksanaan yang cukup panjang sesuai dana yang didapat.
Pawiman Delamit sebagai salah satu tetua adat di OKU Selatan sambil melihat kondisi masyarakat saat ini. Menilai bahwa budaya dan ketaatan dalam mematuhi aturan kehidupan seperti masa Marga sudah mulai perlahan luntur.
Oleh sebab itu ketika ditanya apakah setuju Marga dihidupkan kembali.
“Saya sangat setuju sekali marga ini dihidupkan kembali. Memang sulit menerapkan seperti sistem zaman dulu. Namun menurut saya dalam beberapa hal, terutama bertujuan untuk menegak aturan marga seperti masa lampau masih memungkinkan,” katanya.
Selain itu aturan-aturan dalam mengatur kehidupan warga berdasar kearifan lokal sangat penting ditengah kekhawatiran kita pada geger budaya akibat banyaknya serbuan budaya asing yang masuk. Saya menilai kehadiran kembali Marga ditengah kehidupan masyarakat di Sumatera Selatan sangat mendesak. #rel