MUARA ENIM-SUMSEL, ExtraNews – Nama saya Beby Candra, biasa dipanggil Abi. Dulu, saya tidak pernah membayangkan bisa berkecimpung di dunia perkebunan kopi. Ini semua berkat dukungan dari program sustainability PT Bukit Asam Tbk (PTBA). PTBA tak hanya memberi kami harapan, tapi juga membimbing kami untuk mewujudkan “Harapan Baru” dari setiap biji kopi Robusta yang kami tanam.
Awalnya, kami, para petani, sama sekali buta tentang budidaya kopi. Namun, PTBA benar-benar serius dalam membimbing kami. Mereka mengirim kami untuk studi banding langsung ke sentra kopi di Semende Sumatera Selatan, Aceh, dan Medan. Di sana, kami berkesempatan belajar dari para ahli, termasuk Profesor Surip Mawardi, yang membuka mata kami tentang potensi besar kopi di lahan kami. Pengalaman ini sangat berharga, menyadarkan kami bahwa lahan yang dulu sepi kini bisa menghasilkan kopi berkualitas tinggi.
Sepulang dari studi banding, PTBA terus mendukung kami. Pelatihan komprehensif tentang budidaya kopi dari hulu hingga hilir diberikan oleh tim ahli, membekali kami dengan pengetahuan dari pembibitan, penanaman, hingga pengolahan pasca panen. Kami bahkan dibantu untuk membentuk kelompok pembibitan sendiri, memastikan kami bisa mandiri dalam menyediakan bibit berkualitas. Sejak dibina pada tahun 2020, program ini telah merambah empat kecamatan di Kota Sawahlunto, yaitu Barangin, Silungkang, dan Lembah Segar.
PTBA tidak hanya memberikan ilmu, tapi juga bantuan peralatan pengolahan kopi modern seperti Huller, Pulper, mesin pembubuk, sangrai, dan roasting. Dengan mesin-mesin ini, kami bisa mengolah biji kopi sendiri, meningkatkan kualitas, dan tentu saja, nilai jual produk kami.
Kini, kopi Robusta Sawahlunto bukan lagi sekadar impian. Kami bahkan memiliki Kafe Arang sendiri, sebagai wadah untuk memasarkan kopi kami dan menjadi tempat berkumpul masyarakat. Yang lebih membanggakan lagi, kopi dari Sawahlunto ini pernah berhasil diekspor hingga 100 kg ke China.
PTBA telah membawa kami, 70 anggota kelompok tani, menjadi “pilot” yang mampu menerbangkan harapan baru. Dari yang tadinya tidak memiliki kapasitas di bidang kopi, kini kami bisa menghasilkan rata-rata Rp 6-7 juta per bulan. Ini bukan hanya soal pendapatan, tapi tentang perubahan pola pikir, tentang bagaimana lahan bekas tambang dapat diubah menjadi sumber kesejahteraan dan keberlanjutan bagi kami serta generasi mendatang. (nur/rel)