Muba maju Lebih Cepat
Minuman Alfaone
OPINI  

Ketika Penguji UKW Mengangkangi KEJ yang Diajarkannya, Oleh : Ady Indra Pawennari, Bendahara PWI Kepri

6A4361F2 2442 4BA0 9A30 5850BE96425B

Ketika Penguji UKW Mengangkangi KEJ yang Diajarkannya, 

Oleh : Ady Indra Pawennari, 
Bendahara PWI Kepri

BEBERAPA bulan yang lalu, saya pernah mengajukan protes pada seorang pejabat kepolisian di Polda Kepri. Masalahnya, ada berita tentang saya yang diunggah oleh sebuah media siber menggunakan namanya sebagai narasumber. Jika dibaca, siapapun pasti percaya bahwa berita itu benar. Karena narasumbernya kompeten, seorang pejabat kepolisian di bidangnya. Padahal, dia tak pernah diwawancara dan memberikan keterangan kepada wartawan media siber tersebut.

Menurut saya, ini preseden buruk bagi wartawan dan media itu sendiri. Pertama, saya yang menjadi obyek tulisan pada berita itu tak pernah dikonfirmasi. Padahal, wartawan yang menulisnya kenal baik. Sering ngopi dan makan bersama. Saya pula yang membayarinya. Kedua, narasumber yang digunakan dalam beritanya mengaku tak pernah diwawancarai atau memberikan keterangan kepadanya.

Saya langsung menemui pejabat Polda Kepri yang menjadi narasumber dalam berita tadi. Beliau membuka handphone miliknya dan menunjukkannya kepada saya. Ada 18 orang yang mengaku wartawan mengiriminya pesan untuk konfirmasi. Tak ada satupun yang direspon karena bukan Tupoksinya, melainkan Tupoksi Humas. Sebelumnya, memang ada wartawan yang menelponnya, tapi itu bukan wawancara dan bukan untuk diberitakan.

Rupanya, pembicaraan off the record itu direkam secara diam-diam oleh si wartawan tadi. Selanjutnya, disebarkan kepada wartawan yang lain seolah-olah rekaman itu keterangan resmi dari pejabat kepolisian itu. Padahal, dalam dunia jurnalistik, perbuatan seperti ini haram hukumnya untuk dilakukan. Selain melanggar Undang-Undang Pers, juga melanggar Kode Etik Jurnalistik.

“Saya tidak pernah diwawancara dan tidak pernah memberikan keterangan kepada wartawan, karena itu bukan Tupoksi saya, tapi Tupoksinya Humas. Kalau itu bisa dilaporkan langsung ke Dewan Pers pak. Biar mereka tidak mengarang berita. Karena semua pemberitaan dari Humas,” tegas pejabat Polda Kepri itu kepada saya.

Setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar dari sang narasumber tadi, saya langsung pulang ke rumah di Tanjungpinang. Dalam perjalanan di atas laut yang mengayun, pikiran saya terus berkecamuk. Marah dan sedih dengan perilaku oknum wartawan, sekaligus teman yang menulis saya di media siber itu. Apa dia tak paham Undang-Undang Nomor : 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang menjadi pedoman bagi wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya?

Rasanya tidak. Karena dia merupakan salah satu penguji pada setiap kegiatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilaksanakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri. Bahkan, dia pernah menjadi penguji saya saat mengikuti UKW tingkat Madya yang digelar PWI Kepri di Batam. Saya masih ingat betul bagaimana dia mengajarkan tentang verifikasi, konfirmasi, klarifikasi dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi

Pokoknya, kepiawaiannya dalam menjelaskan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik tak perlu diragukan lagi. Saya akui itu, hebat dan patut diacungi jempol. Hanya saja, dalam prakteknya lain dikata, lain dibuat atau bahasa kerennya tak satunya kata dan perbuatan. Tak ada lagi verifikasi, konfirmasi dan klarifikasi. Pokoknya, Ketua Umum HIPKI Ady Indra Pawennari Ditangkap atas Dugaan Penipuan Pematangan Lahan di Bintan.

Narasumber yang digunakan dalam berita tersebut membantah dan mengaku tidak pernah diwawancara atau memberikan keterangan kepada wartawan media ini. Karena memberikan keterangan kepada wartawan, itu tugasnya Humas. Begitu juga dengan saya sebagai obyek dalam pemberitaan itu. Tidak pernah dikonfirmasi atau dimintai klarifikasi. Padahal, berita yang dibuatnya mengandung fitnah dan pencemaran nama baik.

Dalam berita yang ditulisnya dan diunggah pada tanggal 27 Februari 2025 jam 17.50 WIB, saya disebut terlibat penipuan proyek pematangan lahan 75.000 meter persegi di Bintan senilai Rp1,8 Miliar. Hingga kini, pembayaran lahan tersebut belum diselesaikan AIP (Ady Indra Pawennari), sebagaimana dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan.

Andai saja ada konfirmasi, verifikasi dan klarifikasi seperti yang pernah diajarkannya kepada saya saat mengikuti uji kompetensi, tentu fitnah dan pencemaran nama baik ini tak terjadi. Padahal, dalam kasus ini saya juga korban penipuan. Saya meminjamkan cek kosong kepada teman sebagai alat transaksi jasa penimbunan lahan yang jatuh temponya 3 bulan kemudian. Dan pada saat cek jatuh tempo, si peminjam cek tak menyetorkan dananya.

Jadilah saya tersangka dugaan penipuan cek kosong, karena saya sebagai pemilik cek. Bukan tersangka penipuan proyek pematangan lahan. Bahkan, sebelum berita itu diunggah, si pemimjam cek sudah menyelesaikan pembayarannya dan pelapor sudah mencabut laporan polisi, serta menandatangani surat pernyataan perdamaian yang disaksikan penyidik.

Tapi, apa boleh buat, berita sudah terlanjur heboh dan menyebar kemana-mana. Saya pun sibuk memberikan klarifikasi bersama pengacara saya dan mengirimkan keterangan tertulis kepada sejumlah media. Intinya, saya ini juga korban penipuan. Adakah mereka memuat klarifikasi itu? Ya, sebagian media yang menyadari kekeliruannya. Bahkan, ada yang menghapus beritanya secara sukarela.

Lalu, apakah wartawan yang juga berprofesi sebagai penguji UKW PWI itu, memuat hak jawab/klarifikasi yang saya sampaikan secara terbuka tersebut? Tidak. Ternyata, hak jawab, koreksi dan klarifikasi yang diajarkannya selama ini, hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untuk dirinya sendiri.

Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana oknum wartawan, bahkan seorang penguji UKW, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak beretika dan manusiawi dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Meminjam istilah Prof Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI), mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement.

Ini tak boleh dibiarkan. Seorang penguji UKW boleh membuat berita suka-suka, tak mengindahkan Kode Etik Jurnalistik yang menjadi pedoman bagi wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Kalau ini dibiarkan, maka boleh jadi kata-kata bijak orang tua dulu “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” akan terjadi bagi wartawan yang pernah diajarnya. O

BACA JUGA INI:   Membuat Media (Siber) oleh Hendry CH Bangun
lion parcel