PLN Mengucapkan selamat idul fitri 2025
OPINI  

KEDALAMAN SPIRITUALITAS R.A KARTINI, Oleh: Dra. Anisatul Mardiah, M.Ag, Ph.D Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

F266151E 5D61 4E46 951D 2EAC9DD74A64

KEDALAMAN SPIRITUALITAS R.A KARTINI, 

Oleh:

Dra. Anisatul Mardiah, M.Ag, Ph.D

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Pengantar

 

Raden Ajeng Kartini atau biasa ditulis R.A Kartini adalahketurunan bangsawan, karena itulah gelar Raden Ajeng disematkan kepadanya. Raden Ajeng merupakan gelar yang disandang oleh  Kartini semasa gadis (belum menikah), namun setelah Kartini menikah gelarnya berubah menjadi Raden Ayu Kartini.  R.A Kartini,  seorang perempuan asal Jepara yang lahir pada tanggal 21 April 1879. R.A Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosoningratdan M.A Ngasirah. Ayah Kartini adalah bupati Jepara saat itu.

R.A Kartini berkesempatan untuk sekolah di EuropeescheLagere School (ELS). Ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi orang Belanda dan orang Jawa yang kaya. Di ELS, Kartini belajar bahasa Belanda, sehingga R.A Kartini bisa membaca dan menulis bahasa Belanda. R.A Kartinisekolah di Europeesche Lagere School (ELS) sampai usia 12 tahun  karena sudah memasuki masa pingitan. R.A Kariniharus menjalani tradisi wanita Jawa yang berlaku saat itu, yaitu dipingit dan harus tinggal di rumah.

Selama dipingit, R.A Kartini belajar sendiri menulis dan mengirim surat kepada Rosa Abendanon, salah seorangtemannya dari Belanda. Selain menulis surat, R.A Kartini juga senang membaca buku, surat kabar, dan majalah Eropa. Dari banyaknya buku, surat kabar, dan majalah yang ia baca, membuatnya berpikir untuk memajukan perempuan pribumi.

R.A Kartini wafat pada tanggal 13 September 1904 dalam usia yang sangat muda yaitu 25 tahun. Namun dalam usia yang singkat itu R.A Kartini telah mencatatkan jejak sejarahyangpanjang. Perjuangan batinnya mencari kebenaran telah membuahkan hasil meskipun ia sendiri tidak dapat menyaksikannya. Ia wafat dalam keadaan tetap berpegang teguh terhadap Islam.

Pada 2 Mei 1964, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No 108 tahun 1964 yang berisi ketetapan bahwa Kartini adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan 21 April sebagai hari Kartini yang kita peringati setiap tahunnya sampai sekarang.

Spiritualitas R.A Kartini

Spiritualitas R.A. Kartini adalah salah satu aspek terdalam dari perjuangannya yang sering kali luput dari sorotan. Di balik sosoknya yang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia, Kartini juga menunjukkan dimensi spiritual yang kuat dan reflektif. Spiritualitas R.A. Kartini merupakanfondasi dari seluruh perjuangannya. Ia bukan hanya pejuang hak perempuan, tetapi juga seorang pemikir spiritual yang mendalam. Ia menunjukkan bahwa perubahan sosial sejati tidak hanya lahir dari kekuatan politik, tetapi juga dari kekuatan hati dan jiwa yang tercerahkan.

Para leluhur R.A Kartini  baik dari keturunan ayah maupun ibunya adalah orang yang taat pada agamanya. R.A Kartini juga taat pada agamanya, tapi ia kecewa dengan  metode pengajaran al-Qur’an yang pada waktu itu hanya sebagai hafalan dan tak boleh ditafsirkan. Kartini resah karena ia tidak  memahami isi al-Qur’an. Pada suatu kesempatan, R.A Kartini berkunjung ke rumah pamannya yang menjabat sebagai  Bupati Demak yang sedang mengadakan pengajian bulanan. Dari balik dinding R.A Kartini mendengarkan penjelasan K.H. Mohammad Soleh bin Umar ulama besar dari Darat Semarang. R.A Kartini sangat tertarik dengan penjelasan Kyai Soleh. Kepada Kyai Soleh R.A Kartini mengatakan ingin  memiliki terjemahan al-Qur’an agar dapat dipelajarinya. Dari pertemuan dengan R.A Kartini, Kyai Soleh terinspirasi untuk menerjemahkan al-Qur’an. Namun, sebelum magnumopusnya selesai,  Kyai Soleh meninggal dunia. Terjemahan al-Qur’an Karya Kyai Soleh yang berbahasa Jawa berjudul: “Faizhur Rohman Fittafsir al-Qur’an” jilid I yang berisi terjemahan sebanyak 13 juz diberikan kepada R.A Kartini sebagai hadiah pernikahan.

Terjemahan alQur’an surat alBaqarah ayat 257: minadzzhulumati ilan nuryang berarti dari gelap kepada cahaya sangat berkesan bagi R.A Kartini dan diduga mengilhami surat-surat R.A Kartini menjelang wafatnya. R.A Kartini banyak sekali mengulang kata tersebut, sehingga kumpulan surat-surat Kartini diberi judul:  Door Duisternistot Licht(Habis Gelap Terbitlah Terang)oleh Abendanon.

Spiritualitas R.A. Kartini terlihat sangat menonjol dalam perjuangannya untuk emansipasi wanita, cara berpikirnya yang melampaui zamannya, dan refleksi mendalam yang ia tuangkan dalam surat-suratnya. Beberapa aspek kedalamanspiritualitas R.A. Kartini:

1. Kesadaran akan Tujuan Hidup

Kartini tidak hanya hidup mengikuti arus tradisi dan budaya yang membatasi perempuan. Ia mencari makna hidup yang lebih dalam, yakni bagaimana perempuan bisa berdaya dan memiliki kesempatan yang setara dalam pendidikan dan kehidupan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki kesadaran spiritual yang tinggi akan tujuan eksistensinya.

2. Koneksi yang Kuat dengan Tuhan

Meski sering mempertanyakan banyak hal tentang ketidakadilan dan penderitaan, Kartini memiliki hubungan spiritual yang mendalam dengan Tuhan. Dalam surat-suratnya, ia kerap berbicara tentang keimanan dan harapannya kepada Tuhan sebagai kekuatan dalam menghadapi kesulitan.

Contoh dari kutipan suratnya:

“Tuhan akan menolongku; dalam Dia kuletakkan harapan dan kepercayaanku.”

Kutipan ini muncul dalam suratnya kepada sahabatnya di Belanda saat Kartini sedang mengalami pergolakan batin, antara menerima nasib sebagai perempuan Jawa atau memperjuangkan kebebasan. Ini ditulis pada saat dia tahu bahwa ia akan dijodohkan, dan kehidupannya akan berubah drastis. Ini adalah ekspresi spiritual yang penuh harapan dan keteguhan iman. Kalimat ini menunjukkan kepercayaan yang kokoh meski realitas hidupnya penuh tantangan dan penderitaan.

3. Empati dan Kepedulian Sosial

Kedalaman spiritual R.A Kartini juga terlihat dalam kepeduliannya terhadap kaum perempuan, terutama mereka yang tidak memiliki akses pendidikan. Ia tidak hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi ingin menciptakan perubahan untuk generasi selanjutnya.

Salah satu hal paling menyentuh dari surat-surat Kartini adalah kesedihannya melihat nasib perempuan yang “dipenjara” oleh adat dan tidak diberi akses pendidikan.Ungkapan kesedihan Kartini tertuang dalam cuplikansuratnya: “Alangkah sengsaranya perempuan Jawa… tidak boleh belajar, tidak boleh berpikir, hanya menunggu dijodohkan.” Kartini tidak hanya merasa sedih, tapi ia merasakan penderitaan itu seperti miliknya sendiri, itulah bentuk empati yang sejati.

4. Pencarian Kebenaran dan Nilai-nilai Universal

Spiritualitas Kartini bersifat terbuka, kritis, dan inklusif, bukan eksklusif atau sempit. Kartini tidak puas dengan dogma. Ia haus akan ilmu dan pemahaman, termasuk terhadap agama. Ia membaca banyak buku, berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya, dan menggali nilai-nilai universal seperti:keadilan, kasih sayang, kesetaraan, dan kebebasan berpikir.

Kartini banyak membaca buku-buku dari Eropa, berdiskusi dengan sahabat-sahabat penanya, dan merenungi ketimpangan sosial. Ia tidak menerima sesuatu begitu saja, melainkan selalu berpikir kritis dan mencari kebenaran dengan kedalaman spiritual.

5. Ketabahan dan Keikhlasan dalam Do’a

Doa bukan sekadar permintaan, tetapi bentuk komunikasi batin dengan Sang Pencipta dan cara untuk menenangkan jiwa. Doa bukan sekadar bentuk penghambaan, tapi juga perlawanan sunyi terhadap sistem yang tidak adil. Saat tidak ada yang bisa ia lakukan secara fisik, ia berdoa, menulis, dan berharap kepada Tuhan. Dalam surat-suratnya, Kartini sering mengungkapkan perasaan sedih, tertekan, bahkan putus asa. Namun, ia tidak membiarkan perasaan itu menghancurkannya. Ia menuangkannya dalam doa, bukan doa yang penuh keluh, tetapi doa yang penuh harap dan ketundukan kepada Tuhan.

Kartini dipingit, dijodohkan, hidup dalam sistem patriarki, tetapi ia tidak melawan dengan amarah, melainkan dengan pemikiran, tulisan, dan doa. Ia tabah menjalani jalan hidup yang ditetapkan untuknya, tanpa kehilangan harapan untuk masa depan perempuan. Ketabahan Kartini bukan pasrah buta, tapi bentuk penerimaan yang sadar dan kuat. Kartini tahu ia tidak bisa mengubah semua hal secara langsung. Tapi ia tetap menulis, tetap bermimpi, dan tetap berdoa untuk perempuan-perempuan lain agar bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Meskipun hidupnya penuh batasan dalam pingitan, Kartini tetap ikhlas dan sabar. Ia tidak menjadi sinis, tetapi justru semakin ingin memperjuangkan perubahan. Ketabahan ini adalah salah satu tanda dari jiwa yang matang secara spiritual.

Penutup

 

Spiritualitas Kartini adalah kekuatan batin yang melandasi seluruh perjuangannya. Ia tidak sekadar melawan tradisi patriarkal, tapi juga mengangkat harkat manusia melalui cinta, iman, dan ilmu. Ia memperlihatkan bahwa menjadi perempuan yang beriman tidak berarti diam—justru harus bergerak, berpikir, dan berkontribusi.

Kartini memiliki pemikiran yang sangat filosofis dan reflektif. Ia tidak hanya memikirkan nasib dirinya sebagai perempuan Jawa, tapi juga mempertanyakan ketidakadilan sosial dan budaya. Dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabat Belandanya, ia sering merenungkan soal hidup, Tuhan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Spiritualitas Kartini bersifat personal dan mendalam, bukan sekadar ritual keagamaan. Meskipun ia pernah bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan besar tentang agama dan keadilan, Kartini tidak kehilangan hubungan spiritual dengan Tuhan. Justru melalui perjuangan dan penderitaannya, ia semakin mendalamkan hubungan tersebut.

Perjuangan Kartini bukan didorong oleh amarah, melainkan oleh cinta dan harapan. Ia ingin perempuan memiliki pendidikan agar bisa lebih dekat dengan Tuhan melalui ilmu dan kesadaran. Dalam konteks ini, emansipasi wanita adalah bagian dari panggilan spiritualnya. Semoga perjuangan R.A Kartini dapat menginspirasi kaum perempuan untuk terusberjuang dalam keteguhan iman. @

BACA JUGA INI:   Ada Apa Dengan Dewan Pers (2) Catatan Hendry Ch Bangun
lion parcel