JAKARTA, ExtraNews – Presiden Jokowi kembali membuka keran ekspor pasir laut yang selama 20 tahun ditutup. Kebijakan ini pun menuai kontra dari berbagai pihak salah satunya Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
“Ekspor pasir laut ini bikin nangis saja, karena dinilai akan memberi dampak buruk bagi habitat organisme laut, abrasi di wilayah pesisir, hilangnya pulau-pulau kecil, hingga lenyapnya mata pencaharian nelayan.”Pungkasnya
Sementara itu, salah satu keluarga nelayan di Jepara, Jawa Tengah, Tri Ismuyati sudah merasakan dampak pengerukan pasir laut mengaku hasil tangkapan nelayan berkurang drastis. Banyak keluarga nelayan akhirnya terjerat utang demi menyambung hidup.
Tri Ismuyati menceritakan nasib ratusan keluarga nelayan di Desa Bandungjarjo, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Pasalnya saban malam melaut, beberapa nelayan termasuk suaminya kadang pulang dengan tangan kosong. Kalau pun ada yang mendapatkan hasil laut, jumlahnya cuma lima kilogram.
“Itu pun dapatnya lama sekali,” ucap Tri Ismuyati dilansir dari BBC, Selasa (17/9/2024).
“Dan dalam sebulan paling hanya dua atau tiga kali saja, selebihnya ya enggak dapat apa-apa,” sambungnya.
Ibu tiga anak ini bercerita kondisi tersebut terjadi sejak kapal isap pasir laut beroperasi di wilayah pesisir pada Maret tahun lalu. Setiap malam selama sebulan, kapal itu mengambil pasir laut.
Para nelayan yang curiga, kata Tri Ismuyati, sempat mendatangi kapal isap tersebut dan menanyakan keperluan mereka.
Awak kapal, menurut Tri, memaparkan bahwa mereka mengaku sedang mengambil sampel tanpa menjelaskan untuk kebutuhan apa dan milik perusahaan siapa.
Hasil tangkapan nelayan di Desa Bandungjarjo, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah turun drastis setelah kapal isap mengeruk pasir laut di sana pada tahun lalu. SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES
Keterangan gambar,Hasil tangkapan nelayan di Desa Bandungjarjo, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah turun drastis setelah kapal isap mengeruk pasir laut di sana pada tahun lalu.
Akibat operasional kapal isap, air laut berubah jadi keruh berwarna kecoklatan. Sejak saat itu hingga sekarang, hasil tangkapan nelayan turun drastis.
Kalau dulu nelayan bisa membawa pulang ikan hingga lima kuintal, kini dapat lima kilogram saja sudah susah payah.
“Sekarang sebulan, kadang dapat hasil cuma dua atau tiga kali. Ikan pun enggak mudah didapat padahal melaut sebulan tiap hari. Modal Rp300.000 enggak bawa apa-apa, untuk lauk saja enggak ada.”
“Laut makin susah diprediksi, biasanya panen udang atau ikan, sekarang enggak ada. Panen ikan sudah seperti mimpi.”
Gara-gara hasil tangkapan yang tak menentu, beberapa nelayan menyerah dan mencari pekerjaan lain. Entah bekerja di pabrik, menjadi buruh migran, atau mencari peruntungan ke kota lain. (*)