Adanya kerusuhan yang terjadi di Lapas dapat menyebabkan gangguan keamanan, sebagai konsekuensi dari adanya peningkatan tindak pidana dan pengulangan tindak kejahatan sehingga kapasitas hunian tidak pernah berkurang dan terus bertambah dari waktu ke waktu. Jumlah petugas pengamanan yang tidak mencukupi untuk mengatasi kerusuhan tersebut dibutuhkan tenaga petugas yang cukup, sarana dan prasarana keamanan yang memadai. Dengan kondisi tersebut diatas maka banyak permasalahan yang timbul di Lapas, dengan demikian dari uraian tersebut yang menjadi pertanyaan penelitian karya tulis ini adalah : 1. Mengetahui proses terjadinya kelompok warga binaan yang ada di Lapas 2. Bagaimanakah Implementasi Metode Konseling dapat membantu mencegah terjadinya potensi kerusuhan di Lapas |
A. Maksud dan Tujuan |
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dikemukakan, maka maksud dan tujuan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui proses terjadinya kelompok warga binaan yang ada di Lapas 2. Mengetahui bahwa Implementasi Metode Konseling dapat membantu mencegah terjadinya potensi kerusuhan di Lapas
Selanjutnya dengan melihat kehidupan kedua Warga Binaan Pemasyarakatan tersebut diatas, maka pengelompokan yang terjadi di Lapas penting untuk diketahui apakah dapat dihandalkan sebagai salah satu media dalam pencegahan terjadinya kerusuhan. Pencegahan terjadinya suatu kerusuhan sebagai salah satu cara untuk meringankan ataupun menciptakan suatu kondisi kondusif, dimana dengan keterlibatan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam mengatasi kerusuhan akan membantu meringankan kerja petugas yang jumlahnya tidak cukup memadai jumlahnya menjadi fasilitator sekaligus mediator dalam mengatasi kerusuhan terutama kerusuhan yang mengarah pada kerusuhan masal. Oleh karena itu peranan pelayanan konseling yang diterapkan akan dapat menimalisir terjadinya kerusuhan Lapas. Dengan demikian manfaat yang diharapkan dari karya tulis ini nantinya akan diperoleh sumbangan dalam mengembangkan pelaksanaan pengamanan melalui pendekatan kelompok dan penerapan layanan konseling dalam mengatasi kerusuhan yang terjadi di lingkungan Lapas. Dengan kata lain karya tulis ini diharapkan akan memperoleh suatu jawaban secara empiris tentang pendekatan kelompok dan Implementasi metode konseling sebagai salah satu cara dalam mengatasi kerusuhan yang terjadi di Lapas. |
A. Pengamanan dan Sistem Pemasyarakatan |
Manajemen Pengamanan menurut Hadiman merupakan suatu proses yaitu perbuatan untuk mengamankan agar sesuatu bebas dari gangguan fisik maupun psikis, kekhawatiran, resiko, dan terwujudnya perasaan damai lahiriah dan batiniah. Dengan kata lain pengamanan dijalankan agar suatu kegiatan invividu, kelompok, dapat berjalan lancar, aman, tertib, teratur, dan nyaman. Oleh karena itu tujuan suatu pengamanan adalah menjamin situasi dan kondisi sesuatu baik subyek maupun obyek, institusi atau lembaga, dan lain sebagainya yang merupakan obyek pengamanan menjadi aman. Keamanan jika dikaitkan dengan Unit Pelaksana Teknis seperti Lapas dan Rutan merupakan aset yang amat sangat penting, karena pada prisnsipnya pengelolaan pengamanan adalah tanggung jawab semu pihak, baik petugas maupun elemen warga binaan pemasyarakatan yang menjadi obyek pengamanan institusi tersebut. Dengan demikian pengamanan menjadi upaya vital dalam menciptakan situasi dan kondisi Rutan atau Lapas aman dan tertib serta kondusif bagi kelangsungan hidup elemen pemasyarakatan yang terdapat didalamnya yaitu petugas dan warga binaan pemasyarakatan. Keamanan yang merupakan kebutuhan dasar dari Rutan atau Lapas jika dilihat dari asal katanya yaitu kata aman yang artinya terhindar dari rasa takut atau terhindar dari bahaya. Keamanan menurut Poerwadarminto diartikan dari dua aspek yaitu pertama tentram yang berarti tidak ada rasa takut, tidak khawatir, berbahaya, dan sebagainya. Yang kedua adalah aman berarti situasi kondisi tentram, dimana tidak terdapat hal-hal yang menakutkan, membahayakan. Dengan demikian bila dikaitkan dengan fungsi pengamanan dalam konteks Rutan, maka tugas yang harus dilakukan adalah menciptakan suatu kondisi atau keberadaan yang tentram, menghilangkan segala sesuatu yang menakutkan atau membahayakan bagi kelangsungan hidup warga binaan pemasyarakatan yang menjadi obyek pengamannya. Menurut hadiman, keamanan adalah “suatu keadaan yang memberikan perlindungan dari segala ancaman didalamnya terhadap rasa aman, bebas dari ketakutan, kekhawatiran, keraguan, serta perasaan kepastian dan keselamatan. Sedangkan gangguan keamanan dapat berupa fisik maupun non fisik seperti kebebasan, kemerdekaan, kehormatan, nama baik, perasaan, waktu, dan kesempatan. Keamanan fisik dan non fisik serta kondisi yang bebas dari ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan bertujuan untuk tidak terjadi kerugian. Selanjutnya menurut Momo Kelana, keamanan adalah suasana yang mencerminkan perasaan individu dan masyarakat sehingga perasaan sebagai berikut : 1. Perasaan bebas dari gangguan fisik maupun psikis; 2. Adanya kepastian rasa aman, rasa bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan, dan ketakutan; 3. Perasaan dilindungi dari segala macam bahaya; 4. Perasaan perdamaian dan ketentraman lahiriah dan batiniah. Jika kita perhatikan isi dari kata keamanan yang dikemukakan oleh Momo Kelana tersebut, maka keamanan dalam lingkungan Rutan adalah sesuatu kebutuhan yang utama bagi petugas dan warga binaan pemasyarakatan. Maka dalam upaya memujudkan situasi dan kondisi yang aman secara kondusif perlu diadakan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan untuk petugas perlu mengoptimalkan kemampuan untuk menjaga keamanan dari berbagai aspek baik sarana dan prasarananya.
Kemanan dan pembinaan di lingkungan Rutan ibarat dua mata sisi uang yang berdampingan dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Tetapi kenyataannya berbeda sekali, pembinaan dan keamanan yang ada di dalam Lapas Pemuda kelas IIA Tangerang dalam pelaksanaanya lebih mengutamakan kepentingan keamanan karena di Rutan pernah terjadi kerusuhan beberapa tahun yang lalu. Sebagaimana dalam teori kerusuhan yaitu dalam buku encylopedia of crime and justice, menyebutkan bahwa : “ the prison is the principal device of last resort by which contemprory society deals with criminal behaviour, but it is a relatively recent invention-less than three hundred years old. Almost contempraneous with the inception of the prison were the first prison riots”
“ ….vernon fox identified more than two hundred prison riots between 1855 and 1955, most of which took plece in the last decade of that period. Although there has been no comprehensive catalog of riots since that time, it is entirely clear that the incidence of uprisings has not declined. In fact the number and severity of prison riots have increased”
.. prison disturbances come in a vaeriety of form, not all wihich are violent. The single element common to all is breach of authority. The prison fails in its principal purpose of strict disipline and unquestioning acceptence of authority when the command of aouthority, reasonable or unreasonable, is disobeyed. Thus, a hunger strike, a refusal to work, or the wearing of black armbands in protest are all likely to be regarded as impermissible defiance of authority. Moreover, these more passive forms of resistance to aouthority are viewed as likely to escalate into more serius disturbance involving violence”
Uraian tersebut memperlihatkan bahwa kerusuhan yang terjadi di penjara manapun memiliki penyebab yang hampir sama, begitu juga yang terjadi dalam penjara-penjara yang ada di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa penjara atau lebih dikenal dengan sebutan Rutan atau Lapas adalah : “ total institutions as place of residence and work where a large number of like situated individuals, cut of from the wider society for an appreciable of time together lead an enclosed, formally administrered round of file
Rutan adalah sebagai tempat tahanan untuk menunggu proses peradilan. Dengan demikian kegiatan sehari-hari mereka seperti di masyarakat luar, ada norma dan aturan yang berlaku. Bedanya dengan masyarakat di luar yaitu mereka berada didalam lingkungan yang tidak dapat keluar bebas, dibatasi oleh pagar tinggi, dan ruang geraknya diawasi oleh petugas. Selebihnya mereka hidup sebagaimana masyarakat diluar penjara.
Kehidupan didalam penjara merupakan kehidupan yang “tidak wajar” maksudnya adalah kehidupan mereka menjadi antitesis terhadap prinsip-prinsip yang mendasari tanggung jawab memilih seperti layaknya dalam kehidupan di masyarakat luar. Situasi ini sulit untuk dihindarkan, karena banyak yang jauh dari kenyataan tidak seperti di masyarakat luar. Maka dapat dilihat bahwa penjara itu terlihat tentram dari luar, tetapi sebenarnya banyak permasalahan yang komplek didalamnya seperti peredaran narkoba secara sembunyi-sembunyi, pemalakan, kerusuhan, pelarian, bunuh diri, gangguan psikologis sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat diluar penjara.
Dampak yang dirasakan sebagai akibat pemidanaan bukan hanya sekedar hilang kemerdekaan bergerak saja. Jaman dahulu penjara merupakan tempat penyimpan orang-orang pelanggar hukum, baik yang sudah diputus maupun masih menjadi tahanan. Melakukan hukuman secara fisik merupakan hal yang wajar, karena pada saat itu sistem peradilan tidak terpadu, penjara berada dibagian akhir dari sistem peradilan. Tetapi dengan berjalannya waktu proses perubahan nama penjara menjadi pemasyarakatan menempatkan pemasyarakatan berada dalam sistem peradilan pidana terpadu, atau sering disebut criminal justice system sehingga tindakan pembalasan diubah menjadi tindakan pembinaan. Pemasyarakatan saat ini menjadi bagian di awal proses proses peradilan pidana di Indonesia. Sejarah awal sistem pemasyarakatan dimulai pada tanggal 05 Juli 1963, dimana pada saat itu Menteri Kehakiman RI, Suhardjo memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum di Universitas Indonesia, yang pada saat itu dihadiri oleh Presiden Soekarno. Dalam kesempatan tersebut Suhardjo memberikan pidato ilmiahnya dengan judul “Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila” Pidato ilmiah yang dikemukan oleh Suhardjo, selain menyoroti tentang konsepsi hukum nasional, yang digambarkan sebagai pohon beringin yang melambangkan pengayoman, juga mengemukakan pandangannya tentang pohon beringin itu, sebagai penyuluh bagi petugas yang menjaga dan mengawasi warga binaan, dan merumuskan tujuan dari pidana penjara sebagai berikut : “ disamping menimbulkan rasa derita pad terpidana karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna” Menurut pandangan Suhardjo tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang menurut Saharjo telat tersesat juga harus diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi manusia yang berguna ditengah-tengah masyarakat. Maka istilah pemasyarakatan mulai disosialisasikan dan kemudian digunakan secara resmi sejak 27 April 1964 melalui amanat Presiden RI pada Konfrensi Dinas Kepenjaraan untuk seluruh Indonesia yang diadakan di Lembang Bandung. Pokok-pokok pikiran Saharjo dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan prinsip-prinsip pokok pemasyarakatan, dan berkembang bukan hanya sekedar menjadi ntujuan dari pidana penjara, tetapi juga merupakan sistem pembinaan bagi wargabinaan, yang sekaligus menjadi metodologi di bidang pembinan wargabinaan atau treatmen of offenders. Prinsip-prinsip tersebut dinamakan dengan sepuluh prinsip pemasyarakatan, sebagai berikut : 1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dna berguna dalam masyarakat yaitu masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidupm tidak hanya berupa finansial dan material, tetapi yang lebih penting adalah metal, fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna dalam pembangunan negara; 2. Menjatuhi pidana bukan tindakan dendam dari negara yaitu terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan, maupun penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkan kemerdekaanya; 3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan; 4. Negara tidak berhak membuat sesorang lebih buruk atau jahat daripada sebelum mereka masuk lembaga. Karena itu harus diadakan pemisahan antara : a. Residivis dan yang bukan; b. Yang melakukan tindak pidana berat dan yang ringan; c. Macam tindak pidana yang diperbuat; d. Dewasa, pemuda, dan anak-anak; e. Narapidana dan tahanan. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Jaman dahulu, pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat. Dalam sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “cultural” secara bertahap mereka dibimbing ditengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Sistem Pemasyarakatan didasarkan kepada pembinan yang “community centered” dan berdasarkan interaktivitas dan interdispliner approach antara unsur-unsur pegawai, masyarakat, dan narapidana; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional; 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Pendidikan dan bimbingan harus berisikan azas-azas yang tercantum dalam Pancasila, kepada narapidana harus diberi pendidikan agama, serta diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa persatuan, rasa kebangsaan Indonesia, jiwa bermusyawarah untuk mufakat. Narapidana harus diikutsertakan dalam kegiatan demi kepentingan bersama dan umum; 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat tidak boleh selalu ditunjukan kepada narapidana bahwa mereka adalah penjahat. Mereka harus selalu merasa bahwa mereka dipandang dan diberlakukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya; 9. Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan agara narapidana mendapat matapencarian untuk keluarganya dengan jalan menyediakan atau memberikan pekerjaan dengan upah. Sedangan untuk warga binaan yang pemuda dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan diluar lembaga; 10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan sebaiknya ada bangunan khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara narapidana : a. Residivis dan yang bukan; b. Yang melakukan tindak pidana berat dan yang ringan; c. Macam tindak pidana yang diperbuat; d. Dewasa, pemuda, dan anak-anak; e. Narapidana dan tahanan. Hasil konfrensi tersebut kemudian berhasil menghilangkan dualisme, dimana pemasyarakatan tidak sama dengan Resosialisasi, yang artinya bahwa fokus pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia mempunyai aliran “Reintegrasi” yaitu dalam ilmu corectional science sebagai tujuan pidana. Maka dari pertemuan tersebut tercetuslah prinsip pemasyarakatan, yaitu sebagai berikut : 1. Pemasyarakatan tidak hanya bertujuan pidana penjara, melainkan merupakan suatu cara atau sistem perlakuan terpidana; 2. Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong royong, antara petugas-wargabinaan-masyarakat; 3. Tujuan pemasyarakatan adalah untuk mencapai kesatuan hubungan hidup kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara wargabinaan dan masyarakat; 4. Fokus dari pemasyarakatan buka individu wargabinaan secara ekslusif, melainkan kesatuan hubungan antara wargabinaan dengan masyarakat; 5. Wargabinaan harus dipandang sebagai orang yang melakukan pelanggaran hukum, bukan karena mereka inggin melanggar hukum secara sengaja, melainkan karena ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti dinamika kehidupan masyarakat yang makin lama makin kompleks permasalahannya; 6. Wargabinaan harus dipandang sebagai manusia sebagai mahluk Tuhan YME seperti manusia lainnya yang memiliki potensi dan keinginan untuk menyesuaikan dirinya kedalam kehidupan bermasyarakat; 7. Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada dasarnya menyukai perdamaian dan pemaaf; 8. Petugas pemasyarakatan harus menghayati prinsip-prinsip kegotongroyongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotongroyongan; 9. Tidak boleh ada unsur pemaksaan dalam kegotongroyongan, tujuan harus dicapai melalui self propelling adjusment dan readjusment, atau pendekatan antar umat manusia; 10. Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, adalah unit operasional untuk mencapai tujuan pemasyarakatan dan bukan hanya bangunan sebagai sarana saja; 11. Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan “Pancasila”. Hasil konfrensi tersebut memperlihatkan bahwa proses pemulihan kesatuan hubungan itu sebagian besar berlangsung ditengah-tengah masyarakat atau “community based”, maka pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan mengenal adanya dua aspek yaitu pembinaan Kepribadian dan Kemandirian yang berbasiskan masyarakat. Konsep pemasyarakatan yang dikembangkan di Indonesia juga mengacu kepada kesepakatan Kongres PBB yaitu pertama mengenai pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap para pelanggar hukum yang diselengarakan di Jenewa pada tahun 1955. Kesepakatan yang selanjutnya disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan Resolusi 663C pada tanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 pada tanggal 13 Mei 1977. Putusan PBB ini telah disetujui untuk digunakan oleh negara-negara anggota. Dalam Kongres PBB tentang Prevention of Crime and The Treatment of Offender di Geneva pada tanggal 6 sampai tangal 13 Agustus 1968, dibahas juga Kesimpulan dari hasil Implementasi Standart Minimum Rules For The Treatment Of Prisons diberbagai negara. Delegasi Indonesia dalam Konfrensi tersebut diketuai oleh A. Koenoen dan sebagai anggotanya adalah Soebijono dam Paul Mudigdo. Selanjutnya hasil Konfrensi tersebut mengatur mengenai : Bab I Mengenai peraturan-peraturan penerapan yang berisikan prinsip-prinsip dasar, buku daftar, pemisahan kategori-kategori, akomodasi, kebersihan pribadi, pakaian dan tempat tidur, makanan, latihan dan olahraga, pelayana kesehatan, disiplin dan hukuman, alat-alat penahanan, informasi kepada keluhan oleh narapidana, hubungan dengan dunia luar , buku, agama, penyimpanan harta kekayaan narapidana, pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan, personel lembaga, dan pengawasan
Bab II Dibahas mengenai peraturan-peraturan yang berlaku pada kategori khusus yaitu terhadap narapidana hukuman, prinsip-prinsip, pedoman, perlakuan, klasifikasi perorangan, hak istimewa, pekerjaan, pendidikan dan rekreasi, hubungan sosial dan perawatan sesudahnya, terhadap narapidana hilang ingatan dan bermental tidak normal, tahanan yang sedang menunggu proses peradilan, narapidana sipil, dan orang-orang yang ditangkap atau ditahan tanpa tuduhan. |
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa peraturan mengenai pelaksanaan pemasyarakatan, serta norma-norma yang diterapkan didalam pembinaan kehidupan wargabinaan harus dilaksanakan secara sistematis dan dijalankan sesuai dengan aturan, untuk mengembangkan pribadi wargabinaan sebagai bagian dari kelompok penghuni di Rutan atau Lapas. |
B. Teori Manajemen |
Pengelolaan yang perlu diterapkan dalam lingkungan pemasyarakatan menurut Samsun, adalah proses mengintegrasikan kegiatan kerja agar dapat di kerjakan secara efektif dan efisien. Pendapat senada juga disampaikan oleh Hadiman bahwa manajemen adalah kegiatan melakukan sesuatu secara efektif dan efesien. Manajemen sama juga dengan kata mangkus dan songkil. Mangkus sendiri artinya efektif atau dikerjakan dengan benar, sedangkan sangkil artinya efesien atau mengerjakan dengan benar. Kedua hal tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang baik. Sedangkan proses organisasi untuk mencapai tujuan dicapai melalui orang lain dan dipimpin oleh manajer karena itu harus memiliki leadership atau kepimpinan, berikut hal penting mengenai manajemen : Preventif 1. Antisfatif, mencegah dengan ketentuan peraturan-peraturan untuk mencegah terjadinya pelanggaran; 2. Pre entif, mencegah dengan peranti keras, contohnya mendirikan tembok, dan jeruji; 3. Pro aktif, mencegah dengan mencari penyebabnya, seperti jika ada masalah kerusuhan di dalam Rutan maka dicari sebabnya Dalam rangka mencapai tugas pokok, dibagi-bagi menjadi fungsi manajemen yaitu : 1. Merencanakan (planning) Menetapkan sasaran, merumuskan tujuan, menetapkan strategi, membuat strategi, dan mengembangkan sub rencana, untuk mengkordinasikan kegiatan. 2. Mengorganisasikan (organizing) Menentukan apa yang perlu dilaksanakan, cara pelaksanaannya, dan dari siapa yang melaksanakan 3. Memimpin (leading) Mengarahkan dan memotivasi semua pihak yang terlibat dan memecahkan permasalahan 4. Mengawasi (controlling) Memantau kegiatan untuk memastikan bahwa kegiatan diselesaikan seperti yang direncanakan 5. Pengendalian (evaluating) Memantau kegiatan untuk memastikan bahwa semua orang mencapai apa yang telah direncanakan dan mengkoreksi penyimpangan yang signifikan. Dengan demikian jika uraian tentang konsepsi manajemen diatas jika dikaitkan dengan pembinaan warga binaan pemasyarakatan, maka pembinaan melalui pendekatan kelompok atau metode konseling, dapat digunakan sebagai metode dalam mengatasi kerusuhan di Lapas Pemuda kelas IIA Tangerang. |
C. Teori Pembentukan Kelompok |
Sebagaimana kita ketahui bahwa warga binaan pemasyarakatan terdiri dari narapidana dan tahanan yang merupakan himpunan manusia yang memiliki kebutuhan menjadi anggota atau bagian dari suatu kelompok. Dengan demikian mereka dapat memuaskan kebutuhan dirinya sebagai mahluk sosial yang tidak ingin hidup menyendiri. Johnson&Johnson (1987) mengidentifikasikan sedikitnya ada 7 definisi kelompok berdasarkan jenisnya yang berbeda-beda yaitu : 1. Kumpulan individu yang saling berinteraksi (Bonner, 1959;Stogdill, 1959) 2. Satuan atau unit sosial yang terdiri dari atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok itu (Bales, 1950: Smith, 1945) 3. Sekumpulan individu yang saling tergantung (Cartwright&Zander, 1968; fiedler, 1667; Lewin, 1951) 4. Kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan (Deutsch, 1959; Mills, 1967) 5. Kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka yang disebut joint association (Bass, 1960; Cattel, 1951) 6. Kumpulan individu yang interaksinya diatur (distrukturalkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma (MC David&Harari, 1968; Sherif&Sherif, 1956) 7. Kumpulan individu yang saling mempengaruhi (Shaw, 1976)
Kemudian dari kumpulan-kumpulan definisi tersebut, Jhonson&Jhonson (1987) merumuskan definisi kelompok yaitu sebagai sebuah interaksi tatap muka (face to face interaction) antara dua individu atau lebih yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, masing masing menyadari keberadaan dirinya dan juga keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama Kelompok yang merupakan kumpulan dua orang lebih yang saling berinteraksi dan memiliki tujuan yang sama, jika dikaitkan dengan kehidupan dalam lingkungan Rutan, maka pembentukan kelompok yan dapat terjadi karena adanya perasaan senasib dan latar belakang kehidupan yang sama, seperti contohnya kelompok berdasarkan kesukuan, sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Pembentukan kelompok ditinjau dari berbagai aspek dan disiplin ilmu menurut Sarlito W Sarwono, menurut pandangan lmu Psikologis yaitu : 1. Teori perkembangan kelompok oleh Bennis&Sheppard 1956 menyatakan seseorang masuk ke dalam suatu kelompok dengan keraguan siapa di dalam kelompok itu yang menjadi tokoh otoritas dan ketika ia menemukannya ia bimbang antara ingin mengikuti otoritas dan ingin melepaskan diri dari otoritas tersebut
2. Teori Hubungan Pribadi sebagai teori FIRO-B (Fundamental Interpersonal Relation Orientation Behavior) oleh Schutz 1958 menurutnya ada tiga macam kebutuhan dasar pada manusia sehubungan dengan hubungan antar pribadi tersebut, yaitu (1) inklusi, (2)kontrol, dan (3)afeksi. Kebutuhan inklusi adalah kebutuhan untuk terlibat dan termasuk dalam kelompok. Kebutuhan kontrol adalah kebutuhan akan arahan, oetunjuk, dan pedoman dalam berperilaku dalam kelompok. Kebutuhan afeksi adalah kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian dalam kelompok 3. Teori Sintalitas Kelompok oleh Cattel (1948, 1951) yang artinya adalah kepribadian (personality) yang khusus digunakan untuk kelompok, ia berpendapat untuk mempelajari kelompok perlu ada cara untuk menguraikan dan mengukur sifat-sifat dan perilaku kelompok, karena itulah ia mengembangkan konsep kepribadian kelompok atau sintalitas kelompok.
Sementara menurut pandangan Sosiologi Pembentukan Kelompok dapat terjadi sebagai berikut : 1. Teori Identitas Sosial oleh Billig (1976), mendefinisikan kelompok sebagai kumpulan orang-orang yang anggotanya sadar atau tahu akan adanya satu identitas sosial bersama.
2. Teori Identitas Sosial itu sendiri adalah sebuah proses yang mengikatkan individu pada kelompoknya dan yang menyebabkan individu menyadari diri sosialnya (social self). Identitas sosial adalah suatu proses, bukan tindakan atau perilaku, dan proses situasi tidak terjadi pada tingkat individu, tetapi individu merupakan bagian dari proses tersebut.
3. Teori Identitas Kelompok oleh Horowitz (1985), teori ini menggunakan ciri-ciri etnik untuk menentukan identitas berbagai kelompok (suku, bangsa, keluarga, perusahaan, organisasi, partai politik, dan sebagainya)
Dan dari pembahasan diatas makan menurut Cattel, terdapat tiga dimensi dari kelompok itu sendiri yaitu : 1. Dimensi sifat-sifat sintalitas, yaitu pengaruh dari keberadaan kelompok dan perilaku baik terhadap kelompok lian maupun lingkungan. Sifat sintalitas ini terlihat antara lain dari agresivitas terhadap kelompok lain, kerjasama dengan kelompok lain, dan perilaku kelompok terhadap lingkungan;
2. Dimensi Struktur Kelompok, yaitu bagaimana hubungan antara anggota kelompok, perilaku-perilaku dalam kelompok, dan pola organisasi kelompok. Dimensi ini terlihat antara lain dari pola kepemimpinan dalam kelompok, klik, geng, pembagian peran, status, dan pola komunikasi dalam kelompok;
3. Dimensi Sifat Populasi, yaitu sifat-sifat rata-rata anggota kelompok, misalnya taraf inteligensi rata-rata anggota kelompok, keadaan sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, banyaknya peristiwa kriminal, dan sikap rata-rata terhadap berbagai masalah sosial. |
D. Teori Konseling |
Bekerja dalam kelompok atau bekerja dengan kelompok (group work) menurut WS. Winkel dan MM. Sri Hastuti, menunjukkan pada seperangkat metode dan tehnik yang dirancang untuk mendampingi suatu kelompok dalam meningkatkan cara dan mutu berinteraksi sedemikian rupa, sehingga menunjang pencapaian tujuan yang ditetapkan dan mengembangkan kepribadian masing-masing anggota yang tergabung dalam suatu kelompok. Jika dikaitkan dengan kehidupan komunitas warga binaan Rutan maka mereka yang berada dalam satu blok hunian di lingkungan Rutan, contohnya blok hunian A1 adalah merupakan kumpulan warga binaan yang dapat disebut sebagai kelompok warga blok A1. Demikian juga halnya dengan warga binaan blok B,C, dan seterusnya. Masing-masing blok tersebut meskipun sebenarnya telah diatur oleh aturan atau tata tertib yang berlaku bagi semua warga binaan, tetapi tetap memiliki aturan lainnya yang berlaku di blok masing-masing. Jika terjadi pertikaian dan perselisihan antar blok, hal tersebut sebagai fenomena sosial yang sangat mungkin terjadi di lingkungan Rutan. Selanjutnya sebagai dasar teori dalam membahas metode konseling pada karya tulis ini, terdapat beberapa teori antara lain menurut Schmidt dalam bukunya counseling in schools 1993, konseling adalah : “ practise of professional service designed to guide an individual to a better understanding of …. Problems and potentialities by utilizing modern psychological principles and method” artinya adalah suatu pelayanan profesional yang dirancang untuk mendampingi seseorang agar memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai permasalahan dan segala kemampuan pribadi, pelayanan ini menggunakan aneka prinsip dan metode yang dikembangkan dalam psikologi modern. Sedangkan menurut Gladding pada awal tahun 1990, konseling diartikan sebagai : “ a short term interpersonal theory based profesional guided by legal and developmental and situational problem “ yaitu artinya suatu aktifitas profesional berjangka waktu pendek, bercirikan komunikasi antar pribadi, berlandaskan pandangan teoritis dan berpedoman pada norma etika dan hukum tertentu, yang memusatkan usaha pada bantuan psikologis kepada seseorang yang pada dasarnya bermental sehat agar dapat mengatasi beranekaragam masalah berkaitan dengan proses perkembangannya dan situasi kehidupannya.
Selain kedua teori tersebut masih ada beberapa teori konseling dari berbagai pakar, tetapi menurut penulis dua teori tersebut adalah yang relevan dengan judul karya tulis ini. Selanjutnya dalam pembahasan teori dan pelaksanaan konseling dapat diatur dengan berbagai cara, yaitu menurut : 1. Client Centered Counseling, menurut Carl Roger dengan menggaris bawahi individualisasi konseling yang setaraf dengan individul konselor sehingga dapat dihindari kesan bahwa konseling menggantungkan diri kepada konselor(petugas). Adapun Corak konseling ini sebagai berikut : a. Setiap manusia berhak mempunyai berbagai macam pandangan tersendiri dalam menentukan tujuan hidupnya, serta bebas untuk memenuhi kebutuhannya selama tidak melanggar hak-hak orang lain. b. Manusia pada dasarnya berahlak baik, dapat diandalkan, dapat diberi kepercayaan dan cenderung bertindak secara konstruktif. Naluri manusia berkeingingan baik, bagi dirinya dan orang lain. Warga binaan yang bertindak dengan cara tidak baik seperti menipu, mencelakakan orang lain karena benci, dan berbuat sadis, itu karena usaha membela diri yang telah menjauhkan seseorang dari nalurinya. Dan bilamana warga binaan tersebut dapat menemukan kembali naluri aslinya, usaha membela diri akan berkurang dan seluruh tindakannya akan konstruktuf; c. Manusia, memiliki pembawaan pribadi, memiliki kemampuan, dorongan, dan kecenderungann untuk mengembangkan diri sendiri semaksimal mungkin atau actualizing tendency merupakan kekuatan sebagai motivasi dalam dirinya, tanpa menggantungkan dirinya pada orang lain dan mau diatur serta dikontrol oleh orang lain; d. Cara berperilaku seseorang serta cara menyesuaikan diri tehadap keadaan hidup yang dihadapinya, sesuai dengan pandangan sendiri terhadap diri sendiri dan keadaan yang dihadapi; e. Seseorang akan menghadapi persoalan jika diantara unsur-unsur gambaran terhadap diri sendiri timbul konflik dan pertentangan, seperti antara siapa ini sebenarnya (real self) dan saya seharunya menjadi orang yang bagaimana (ideal self); 2. Trait Factor Counseling oleh EG Williamson, disebut sebagai directive counseling atau counselor centered counseling, karena konseling secara sadar mengadakan strukturalisasi dalam proses konseling dan berusaha mempengaruhi arah perkembangan konseling demi kebaikan konseling sendiri. Ciri-ciri konseling ini menilai tinggi kemampuan manusia untuk berpikir rasional dan memandang masalah konseling sebagai problem yang harus dipecahkan dengan menggunakan kemampuan itu (problem solving approach) Williamson merumuskan pula sejumlah pendapat yang mendasari trait factor counseling dalam suatu karangan yang dimuat dalam theories of counseling (Steffire, 1965) yaitu : a. Setiap individu mempunyai sejumlah kemampuan dan potensi, seperti taraf inteligensi umum, bakat khusus, taraf kreatifitas, wujud minat serta keterampilan yang bersama-sama membentuk suatu pola yang khas untuk individu itu; b. Pola kemampuan dan potensi tanpa seseorang harus menunjukkan hubungan, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang untuk bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan; c. Setiap individu mampu, berkeinginan, dan berkecenderungan untuk mengenal diri sendiri serta memanfaatkan pemahaman diri itu dengan berpikir baik-baik, sehingga dia akan menggunakan keseluruhan kemampuannya semaksimal mungkin agar puas mengatur kehidupannya. 3. Conseling Behavioristik, oleh John D Krumboltz dikemukan bahwa konseling ini diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku konseling (personal relationship). Konseling Kepribadian berasal dari beberapa pendapat tentang harkat dan martabat manusia sebagai pedoman. Adapun ciri-cirinya sebagai berikut : a. Manusia pada dasarnya tidak berahlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia memiliki potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, benar atau salah berdasarkan karena sifat keturunan atau pembawaan, dan karena interaksi di lingkungan, maka terbentuk aneka pola tingkah laku yang menjadi suatu ciri khas kepribadiannya; b. Manusia mampu untuk berefeksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri; c. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti melalui usaha belajar yang baru; d. Manusia dapat memperngaruhi perilaku orang lain, dan dirinya dapat dipengaruhi oleh perilaku orang lain. 4. Rational Emotive Therapy, dikemukakan oleh Albert Ellis dimana ciri dari konseling ini menekankan kebersamaan dn interaksi antara berpikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emotional), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam cara berpikir sehingga menghasilkan perubahan yang berarti dalam bentuk berperasaan da berperilaku. Ciri konseling ini berawal dari beberapa pendapat tentang martabat manusia dan proses manusai mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis, yaitu : a. Manusia adalah mahluk yang manusiawi, artinya manusia tidak sempurna. Manusia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Manusia mampu mengatasi permasalahan pada taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia, maka harus berusaha menikmati hidupnya sebaik mungkin; b. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh sifat keturunan atau pembawaan tetapi juga tergantung dengan pilihan hidupnya sendiri; c. Hidup secara rasional dalam berfikir, berperasaan, dan berperilaku. Sehingga dalam mencapai kebahagian secara efektif dan efisen; d. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional atau tidak rasional. Manusia kadang berpikir dengan akal, terkadang juga mencari jalan pintas sehingga menyebabkan masalah bagi dirinya sendiri; e. Manusia terkadang berpegang teguh pada keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal atau irasional (irrational beliefs), yang ditanamkan sejak kecil oleh lingkungan, budaya, atau pemikirannya sendiri. 5. Counseling Electic, menurut Frederick Thorne konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam konseling yang berpedoman pada pandangan teoritis dan pendekatan (approach) yang merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. Gagasan menerapkan suatu pendekatan konseling ini adalah : a. Fase pembukaan. Selama fase ini konselor berusaha untuk menciptakan relasi hubungan antar pribadi (working relationship) yang baik; b. Fase penjelasan masalah. Dalam fase ini konseli mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi. Selama fase ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sambil menunjukkan pemahaman dan pengertian serta ikut merasakan apa yang dirasakan serta dipikirkan oleh konseli; c. Fase pengalihan masalah. Fase ini konselor dan konseli bersama-sama menggali latar belakang maslaah, antara lain seperti asal usul permasalahan, unsur-unsur yang pokok dan tidak pokok, pihak-pihak siapa saja yang terlibat, perasaan dan pikiran konseli mengenai masalah yang dihadapi; d. Fase penyelesaian masalah. Dengan berpegangan pada pembedaan antara a choice case dan a change case, konselor dan konseli membahas persoalan sampai ditemukan penyelesaian yang tuntas, dengan mengidahkan semua data dan fakta; e. Fase penutup. Selama fase ini konselor mengakhiri wawancara, baik yang masih akan diusulkan dengan wawancara lain maupun yang merupakan wawancara terakhir.
Dari teori ini penjelasan adalah bahwa ada hal penting dalam temuan penelitian nantinya, karena hal ini berkaitan dengan potensi-potensi kerusuhan yang disebabkan banyak faktor baik dari dalam individu warga binaan sendiri maupun dari luar dirinya (lingkungan Rutan). |
E. Teori Kerusuhan |
Kerusuhan terjadi dalam kelompok wargabinaan yang berada di dalam Rutan atau Lapas, disebabkan karena banyaknya permasalahan, dan terbatasnya ruang gerak yang memungkinkan terjadinya salah paham sehingga menimbulkan perselisihan. Kerusuhan atau keributan sebagaimana teori fungsionalis struktural yang dikemukakan oleh Neil J Smelser 1962, adalah : “ sebagai teoritis terkemuka tentang tingkah laku kolektif menyebutnya sebagai tingkah laku yang merupkan redefinisi kolektif terhadap situasi yang tidak terstruktur. Gejala yang masuk dalam kategori tingkah laku kolektif dapat ditemui pada berbagai situasi seperti reaksi orang ketika terjadi bencana alam, kerusuhan sosial, gerakan sosial, radikal yang dijalankan secara damai, kepanikan, sampai dengan revolusi”
Dari pemahaman terhadap tingkah laku kolektif ini sebenarnya Smelser 1962 juga mengemukakan bagaimana proses terjadinya suatu tingkah laku kolektif, disebabkan oleh enam faktor yang saling terkait antara lain meliputi : 1. Pendorong struktural, yaitu suatu kondisi struktural masyarakat yang mempunyai potensi bagi timbulnya tingkah laku kolektif. Semakin heterogennya suatu kelompok, semakin kondusif heterogenitas kelompok tersebut bagi munculnya kerusuhan sosial; 2. Ketegangan struktural, yaitu suatu kondisi ketegangan yang diakibatkan oleh kenyataan struktur kelompok seperti ketidakpastian, penindasan, konflik, dan kesenjangan. Kondisi ketegangan tersebut merupakan kondisi yang potensial bagi timbulnya kerusuhan sosial; 3. Pertumbuhan dan penyebarluasan kepercayaan secara umum adalah suatu proses dimana ketika ketegangan struktural menjadi bermakna bagi calon pelaku tindakan kolektif. Ketika suatu kelompok merasakan diperlakukan secara tidak adil dalam berbagai aspek, atau ketika suatu kelompok mengalami ketidakserasian atau konflik dengan kelompok lain, mereka akan mencoba mencari sumber-sumber yang dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kondisi ketegangan tersebut; 4. Faktor pencetus, merupakan faktor situasional yang menegaskan pendorong struktural, ketegangan struktural dan kepercayaan umum tentang sumber ketegangan yang memicu timbulnya tingkah laku kolektif. Faktor pencetus biasanya merupakan suatu konflik yang bersifat individual atau hanya melibatkan sedikit orang saja. Karena konflik individual atau konflik kecil tersebut oleh kelompok yang lebih luas dipandang sebagai perwujudan dari gerakan musuh yang nyata yang telah diidentifikasikan dalam proses sebelumnya maka konflik tersebut mampu memicu konflik yang lebih besar. Kenyataan ini dapat ditemukan dalam setiap peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi selama ini selalu diawali oleh adanya konflik individual atau hanya melibatkan sedikit orang saja; 5. Mobilisasi pemeranserta. Meskipun faktor-faktor yang tersebut dari nomor 1 hingga 4 telah terbentuk, bagi terjadinya tingkah laku kolektif memerlukan adanya dukungan massa untuk bertindak; 6. Bekerjanya pengendalian sosial, adalah suatu tahapan yang penting yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mencegah pecahnya suatu kerusuhan sosial.
Jika dikaitkan dengan permasalahan kerusuhan yang terjadi di lingkungan Rutan/Lapas bahwa pemicu kerusuhan berupa konflik yang dapat berubah-ubah faktor penyebabnya sesuai dengan kondisi lingkungan pada saat itu. Konflik menurut Parsudi Suparlan dapat dipahami dengan jelas melalui pengertian-pengertian sebagai berikut : Konflik dapat didefinisikan sebagai tindakan permusuhan antara pihak perorangan atau antar kelompok yang terwujud sebagai tindakan saling menghancurkan untuk memenangkan suatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut bisa berupa sumber-sumber daya dan rejeki dan kehormatan jati diri atau kelompok. Sering kali pihak yang sedang berkonflik melupakan tujuan utama yang ingin dicapai, sehingga mereka saling menghancurkan. Konflik terbagi menjadi dua, yaitu konflik fisik dan bentuk simbolik. Konflik fisik adalah dimana para pelaku bertindak saling menghancurkan orang (membunuh atau setidak-tidaknya menciderai), dan menghancurkan harta benda yang menjadi milik lawan yang merupakan atribut atau jatidiri pihak lawan. Konflik yang menghasilkan kekalahan dari satu pihak, yang kemudian berhenti atau diberhentikan karena adanya aparat keamanan yang menghentikannya, akan menghasilkan dendam yang berkepanjangan pada pihak yang kalah tersebut. Hal ini dapat menyebabkan konflik baru, biasanya dimulai oleh pihak yang pernah kalah, yang merasa terhina oleh tindakan yang dilakukan oleh pihak yang menang dalam konflik yang pernah terjadi, walaupun peristiwa yang sekarang terjadi karena hal sepele. Dalam konflik baru, yang dilakukan dalam bentuk penyerangan oleh yang dulunya kalah terhadap pihak yang dulunya menang, biasanya dilakukan dengan mengaktifkan suatu issu. Yang pertama menyebarkan issu untuk memberikan semangat menghancurkan pihak lawan biasanya disebut provokator. Sedangkan konflik simbolik adalah masing-masing pihak yang berkonflik atau pernah berkonflik dimasa lalu, menciptakan simbol-simbol mengenai keperkasaan mereka, terhadap yang lebih unggul dari pihak lawan. Dengan kata lain berbagai issu simbolik menghasilkan adanya streotip dan prasangka, menghasilkan adanya batas-batas sosial, dan menghasilkan saling tindakan diskriminatif satu sama lainnya. Selanjutnya kekerasan yang terjadi dalam penjara sebagaimana diuraikan dalam buku The Prison Experience, adalah : “ … hence the relative lack of prison violence may be explained by the character of the general population and culture that inmates bring with them to the institution. Alternatievely the absence of assaultive behavior may stem from a more effective prison management that provides few opportunities for attacks.. yet many american penelogist belive that additional freedoms may in fact raise the probability of violence because contracts with the outside world increase opportunities for the smuggling of contraband (drugs , food, weapons) that may sprak conflict. Further the contrast between freedom and regimentation may increas the frustration of confinement” Selain itu kekerasan yang terjadi di dalam penjara dapat disebabkan oleh warga binaan, petugas juga memiliki peluang untuk melakukan kekerasan. Petugas memiliki kekuasaan atau power dalam hal mengawasi warga binaan di dalam Penjara. Padahal Penjara didirikan bertujuan untuk membina warga binaan bukan untuk melakukan kekerasan. Kekerasan terjadi dalam lingkungan penjara dapat juga terjadi karena ada sebagian “oknum” yang ingin mengambil keuntungan dari kerusuhan tersebut. Adanya kesempatan untuk mengintimidasi, mendominasi, dan menindas sehingga dimanfaatkan banyak pihak. Untuk itulah dibutuhkan kerjasama secara keseluruhan untuk membangun sistem pemasyarakatan khususnya tentang aturan mengenai keamanan dalam penjara. Interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok, termasuk kelompok yang ada di dalam lingkungan Rutan, terdapat dua hal penting interaksi tersebut, yang pertama adalah adanya interaksi antar kelompok mengenai urusan pribadi dan interaksi antar kelompok mengenai tingkat sosial. Sebagaimana Mc Dougall mengutarakan bahwa : “perilaku dapat emosional, impulsif, berciri kekerasan, tidak konsisten, dan pembuatan keputusannya ceroboh. Akan tetapi jiwa kelompok ini menurutnya bukanlah yang mengendalikan perilaku kelompok karena pengendalian perilaku kelompok adalah naluri emosi.
Selanjutnya diuraikan bahwa tidak selamanya kelompok mempunyai jiwa kelompok. Jiwa kelompok baru tumbuh jika ada empat faktor yang menimbulkannya yaitu : 1. Kelangsungan keberadaan kelompok (berlanjut untuk waktu yang lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota; 2. Adanya tradisi, kebiasaan, dan adat; 3. Ada organisasi dalam kelompok (ada deferensiasi dan spesialisasi fungsi); 4. Kesadaran diri kelompok, bagaimana caranya kelompok itu berfungsi dalam kelompok, bagaimana struktur dalam kelompok, dan sebagainya.
Lebih jauh diuraikan bahwa solidaritas kelompok, sangat tergantung pada dua hal yaitu pengetahuan tentang kelompok, dan keterikatan kepada kelompok. Kehidupan kelompok memiliki strukturnya sendiri-sendiri dan dalam memahami kelompok maka ada hal penting lain yang perlu diketahui menurut Lott&Lott 1965 yaitu bahwa dalam interaksi kelompok dipengaruhi oleh hal-hal berikut : 1. Hubungan yang relatif sukarela antara orang-orang yang tidak terlalu jauh berbeda dalam hal-hal yang dapat menjauhkan antar pribadi, seperti suku atau ras; 2. Hubungan kerjasama atau kompetisi yang masih dalam batas-batas yang sesuai dengan norma; 3. Penerimaan oleh orang-orang lain (saling menerima); 4. Adanya ancaman atau bahaya dari luar yang dihadapi bersama dan untuk mengatasinya tidak dapat mengandalkan pada keterampilan atau kemampuan seseorang saja (sehingga tidak ada individu yang dapat menyelamatkan diri masing-masing; 5. Status yang homogen, status yang tinggi, atau adanya ketidakmungkinan untuk naik ke status yang lebih tinggi; 6. Perilaku dan sifat-sifat pribadi yang berguna untuk memnuhi fungsi kelompok yang khusus (pandai berkelahi untuk kelompok gangster); 7. Sikap, nilai-nilai, dan latar belakang yang sama dan kepribadian yang saling mengisi dan relevan dengan eksistensi dan tujuan kelompok; 8. Adanya ritual (upacara, kebiasaan, tradisi, basa basi) dan inisiasi (masa perkenalan, masa percobaan) yang tidak menyenangkan.
Kemudian diuraikan bahwa dampak dari interaksi kelompok adalah sebagai berikut : 1. Agresivitas sebagai reaksi terhadap gangguan dari luar; 2. Evaluasi diri, menilai diri sendiri sebagai dinilai positif oleh orang-orang yang menyenangi dan menilai positif terhadap orang-orang yang disenangi; 3. Evaluasi yang berlebihan tentang keunggulan atau ketidakmampuan seseorang dibandingkan anggota kelompok lainnya (dalam Rutan ada kepala suku, dan voorman yang dianggap sebagai orang yang hebat, padahal mereka belum tentu hebat jika sudah berhadapan dengan petugas sebagai penguasa); 4. Evaluasi positif terhadap kelompok dan hal-hal yang terkait dengan kelompok; 5. Persepsi tentang kesamaan antar pribadi dalam hal sikap, perilaku, dan kepribadian (contohnya jika mereka sesama warga binaan berasal dari kampung yang sama dan bertemu di dalam penjara, mereka akan merasa senasib meskipun padahal kampungnya mereka tidak saling mengenal); 6. Komunikasi yang lebih bebas hambatan; 7. Konformitas pada standar kelompok yang bersangkutan dengan sikap dan penampilan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembentukan kelompok memiliki pola dan struktur sosial yang berbeda antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dengan demikian jika pola dan strukturnya pembentukan kelompok diketahui melalui pendekatan terhadap suatu kelompok akan dapat mengatasi berbagai pertikaian yang mengarah pada kerusuhan yang akan dan sedang terjadi di Lapas Pemuda kelas IIA Tangerang. ![]() KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
|
IMPLEMENTASI METODE KONSELING DALAM MENCEGAH POTENSI KERUSUHAN DI DALAM BLOK HUNIAN (STUDI KASUS DI LAPAS PEMUDA KELAS IIA TANGERANG)
