Idul Adha: Saatnya Wartawan Menimbang Makna Pengorbanan
Oleh: Tundra Meliala,
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI)
Saat takbir menggema dari surau dan masjid di pelosok negeri, Idul Adha kembali mengetuk kesadaran kita tentang makna pengorbanan. Di tengah semarak pembagian daging kurban dan antrean panjang di rumah pemotongan hewan, ada satu profesi yang juga sedang diuji pengorbanannya: wartawan.
Kisah Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan putranya, Ismail, demi perintah Tuhan, selalu menjadi pelajaran tentang ketaatan, keikhlasan, dan solidaritas. Setiap potongan daging kurban yang dibagikan ke tangan-tangan yang jarang menikmati lauk mewah adalah perwujudan nyata dari semangat berbagi. Namun, jika kurban adalah simbol kesiapan melepaskan sesuatu yang dicintai demi kebaikan yang lebih besar, maka wartawan pun sejatinya berkurban—setiap hari.
Antara Tugas dan Tekanan
Menjalani profesi wartawan di era digital bukan sekadar soal menulis berita. Ini tentang menavigasi badai tekanan, ancaman, dan kehilangan. Berdasarkan catatan, sepanjang 2024, sedikitnya 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi, mulai dari intimidasi, peretasan, hingga kekerasan fisik. Dalam banyak kasus, para pelaku berasal dari kalangan aparat, elite politik, hingga buzzer digital yang tak menyukai laporan investigatif.
Ini belum termasuk tekanan ekonomi. Seiring peralihan iklan dari media cetak ke platform digital seperti Facebook dan Google, pendapatan industri media menyusut drastis. Laporan Reuters Institute 2024 menyebutkan bahwa lebih dari 60 persen pendapatan iklan digital di Indonesia kini diserap oleh dua raksasa digital tersebut, meninggalkan media lokal dan nasional dalam tekanan berat.
Konsekuensinya? PHK massal. Dalam tiga tahun terakhir, beberapa grup media besar di Indonesia terpaksa memangkas ratusan pekerja, termasuk jurnalis senior yang kehilangan mata pencaharian di usia yang tak muda lagi. Dalam istilah yang lebih menyayat: mereka dipotong sebelum waktunya.
Ketika “Kurban” Bukan Lagi Simbol
Dalam konteks ini, berkurban bukan sekadar menyembelih hewan ternak. Wartawan mengorbankan waktu keluarga, energi, bahkan kadang nyawa, demi satu hal yang kerap dianggap sederhana: menyampaikan kebenaran. Tapi benarkah ini masih dimaknai sebagai bentuk ibadah sosial?
Seorang wartawan dari daerah konflik di Papua pernah berkata dalam sebuah forum media, “Kami tidak bisa ikut Idul Adha karena harus liputan kerusuhan. Tapi setiap hari kami merasa sedang berkurban, dan tak ada upah tambahan untuk itu”. Pernyataan itu diamini banyak rekan seprofesi di ruang diskusi yang sunyi setelahnya.
Dalam kondisi demikian, wartawan sejatinya menjalani makna pengorbanan seperti yang dicontohkan dalam Idul Adha: bukan hanya melepas, tapi juga menerima. Menerima risiko, menerima kritik, dan menerima ketidakpastian hidup demi sesuatu yang lebih besar: menjaga kewarasan publik.
Mencari Tebusan dan Harapan
Pengorbanan bukan tanpa tebusan. Wartawan yang tulus dan tekun bisa memetik kepuasan batin ketika liputannya menggugah perubahan. Ada kisah tentang jurnalis daerah yang liputannya soal korupsi dana desa membuat seorang kepala desa akhirnya ditangkap dan dana bantuan mengalir kembali ke warga.
Apresiasi semacam itu kini datang juga dari platform non-tradisional. Beberapa wartawan muda memanfaatkan Substack, YouTube, hingga Instagram untuk membangun kanal independen mereka sendiri—dengan ribuan pembaca loyal. Di sini, tebusannya tidak hanya berupa uang, tetapi juga ruang otonom dan kontrol editorial yang tidak dimiliki di redaksi konvensional.
Langkah adaptif ini menjadi penting di tengah merosotnya pendapatan media. Sebab, menurut kajian Google dan Deloitte (2023), media yang mengembangkan sistem langganan digital memiliki tingkat pertumbuhan pendapatan hingga 2,5 kali lipat dibanding yang masih mengandalkan iklan tradisional.
Dari Halaman Redaksi ke Halaman Sejarah
Ketika kita kembali merefleksikan Idul Adha, mungkin kita bisa melihat wartawan bukan hanya sebagai “penyampai berita,” tetapi juga sebagai penjaga nilai. Seperti Nabi Ibrahim yang menimbang antara cinta kepada anak dan ketaatan kepada Tuhan, wartawan pun menimbang antara keselamatan pribadi dan tanggung jawab publik.
Mereka tidak selalu memakai rompi pers. Tidak selalu tampil di televisi. Tapi mereka ada—di jalan, di desa, di ruang sidang, di wilayah bencana, atau di balik layar, menyunting naskah berita yang mungkin akan Anda baca esok hari.
Idul Adha, dengan seluruh semangat pengorbanannya, mengingatkan kita bahwa tidak semua kurban berupa daging. Sebagian kurban berwujud waktu, integritas, bahkan suara yang tetap ditulis meski tahu akan dibungkam.