Harapan dan Kekhawatiran Hasil Revisi UU Anti Teroris

TERLEPAS apakah akhirnya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme (antiterorisme) disahkan, akibat karena rentetan aksi teror yang mengguncang Tanah Air. Karena kita mengetahui, revisi UU tersebut disahkan, selang beberapa waktu setelah rentetan teror yang diawali jebolnya penjara napi teroris yang membuat kerusuhan di Mako Brimob.

Sebelumnya, publik mengetahui pengesahan UU itu seakan-akan menemui jalan buntu. Proses pengesahan UU Terorisme ini tak berjalan mulus begitu saja, akhirnya membutuhkan dua tahun bagi DPR dan pemerintah untuk bertemu kata sepakat terhadap semua poin yang ada dalam UU itu. Layaknya merumuskan formulasi suatu kebijakan, apa yang terjadi terkait dengan dengan revisi UU Antiteroris adalah bentuk tahapan evaluasi dari implementasi kebijakan.

Namun, apa pun latar belakangnya, kini Indonesia memiliki Undang-Undang Terorisme yang baru, setelah DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jumat, 25 Mei 2018.
Bangsa Indonesia pastinya sepakat jika kejahatan terorisme, adalah salah satu kejahatan extra ordinary yaitu kejahatan luar biasa yang dihadapi saat ini. Selain masalah teroris, masalah tindak pidana korupsi, penyalagunaan narkoba adalah persoalan serius yang kita hadapi.

Ada beberapa perubahan penting dalam UU tersebut. Perubahan mendasar dimulai dari definisi terorisme yang kini mengharuskan ada motif ideologi, politik atau gangguan keamanan untuk bisa disebut terorisme.

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.

BACA JUGA INI:   Menyambut Ramadhan 1441 Hijriah di Tengah Pandemi Covid-19

Perkuat Pencegahan Terorisme
Undang-Undang Antiterorisme yang baru memperkuat aspek pencegahan. Penguatan aspek pencegahan terlihat dari adanya pasal yang mengizinkan penegak hukum menindak persiapan aksi terorisme. Hal itu terlihat dalam Pasal 12A ayat 2 dan pasal 12B ayat 1 dan 2. Dalam pasal 12A ayat 2 dinyatakan orang yang merekrut dan menjadi anggota organisasi teroris diancam hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.

Sedangkan dalam pasal 12B ayat 1 dinyatakan setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan militer atau paramiliter di dalam dan luar negeri dengan maksud mempersiapkan aksi terorisme diancam hukuman paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 15 tahun penjara. Dengan adanya undang-undang ini, aparat bisa melakukan penegakan hukum terhadap mereka sehingga paling tidak ada aspek pencegahan dari awal sebelum terjadi tindak pidana itu sendiri.

Masih dalam pasal 12 B, ayat 3, setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunaka dalam pelatihan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.

BACA JUGA INI:   Kesepakatan Jokowi-Xi Jinping Diam-diam Memiliki Potensi Risiko Laten Ekonomi Indonesia, Apa Saja?

Lebih dari itu, dalam pasal 4, setiap warga Indonesia yang dijatuhi pidana terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 tahun.

Kewenangan aparat juga menjadi lebih kuat dan dapat melakukan penangkapan dari sebelum aksi teror terjadi, dalam pasal 28 ayat 1, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari. Pasal (2), apabila waktu penangkapan tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk waktu paling lama 7 hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

Untuk mengetahui gerak gerik kelompok atau individu yang dicurigai mengarah kepada aksi teror, penyidik dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama tiga hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

Terkait dengan ancaman yang teror yang luar biasa, TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Dalam mengatasi aksi terorisme, dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Artinya dengan UU ini, TNI mendapat porsi langsung dan memiliki kewenangan memerangi aksi teror.

BACA JUGA INI:   Mungkinkah Toko Kelontong menjadi “Category Killer”?

Makin pentingnya pencegahan juga tercantum dalam UU, bahwa pemerintah wajib melaksanakan pencegahan tindak pidana terorisme. Dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme, pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian. Pencegahan dilaksanakan melalui a. kesiapsiagaan nasional, b. kontra-radikalisasi, c. deradikalisasi (ketiga diatur lebih rinci dalam peraturan pemerintah).

Dengan disahkan UU antiteroris ada sebuah harapan besar yang dapat memberikan keluasan kewenangan dalam mencegah dan menindak pidana terorisme. Peran kewenangan dan tanggung jawab serta akses yang besar ibarat pisau bermata dua. Banyak yang mengkhawatirkan terjadi kemungkinan penyalagunaan kewenangan.

Misalnya dari definisi terorisme yang sangat interpretasi terkait perbuatan yang mengarah pada motif ideologi, politik dan gangguan keamanan. Jangan sampai tafsir yang muncul dari versi kekuasaan yang pada akhirnya pemanfataan untuk kepentingan politik. Pasal lainnya, yang menjadi kekhawatiran seperti penyadapan, keterlibatan TNI. Pasal-pasal yang dalam ide baiknya untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini, sebaliknya tetap khawatir dalam praktiknya terjadi penyalagunaan.

Oleh karena itu fungsi pengawasan dari legislatif dan masyarakat sangat dibutuhkan, terutama terkait dengan bakal dikeluarkannya peraturan turunannya berupa Perpres atau aturan lainnya. Aturan turunannya harus mampu memberikan jawaban seoperasional mungkin dan tidak multitafsir.*

Komentar