Di Lampu Merah: Potret Anjal dan Badut di Perkotaan.
Dr. H. Mohammad Syawaludin. MA
(dosen pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang)
Artikel ini dirancang untuk memotret satu sisi kehidupan perkotaan tanpa memojokkan atau menilai komunitas tersebut, melainkan menggambarkan realitas yang ada dengan objektif. Kehidupan perkotaan seringkali diwarnai oleh fenomena sosial yang kompleks, salah satunya adalah keberadaan Anak Jalanan (Anjal) dan Badut Lampu Merah yang menjadikan aktivitas di persimpangan jalan sebagai sumber penghasilan baru. bertujuan untuk memotret fenomena tersebut sebagai bagian dari realitas perkotaan yang sering kali diabaikan. Bagaimana Anjal dan Badut Lampu Merah memanfaatkan ruang publik untuk mencari nafkah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan cerminan dari ketidakmerataan akses ekonomi dan kurangnya perhatian terhadap kelompok marginal di perkotaan. Ada aktivitas sederhana di persimpangan lampu merah, Anjal dan Badut Lampu Merah memanfaatkan momen singkat ketika kendaraan berhenti untuk melakukan aktivitas ekonomi. Anjal biasanya meminta sumbangan atau menjual barang kecil seperti tisu atau minuman, sementara Badut Lampu Merah menghibur pengendara dengan atraksi sederhana seperti juggling atau menari lebih jauh ada gerakan ‘sujud ke tanah’ . Aktivitas ini menjadi sumber penghasilan baru yang mereka ciptakan sendiri, meskipun sering kali dianggap sebagai gangguan oleh sebagian masyarakat.
Realitas Kehidupan Perkotaan yang Kurang Peduli
Keberadaan Anjal dan Badut Lampu Merah mencerminkan sisi lain kehidupan perkotaan yang kurang peduli terhadap kelompok marginal. Mereka sering kali tidak memiliki akses ke lapangan pekerjaan formal atau program bantuan sosial yang memadai. Akibatnya, mereka memanfaatkan ruang publik seperti lampu merah sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kreativitas mereka dalam bertahan hidup, tetapi juga mengungkap ketidakadilan struktural yang dialami oleh kelompok marginal di perkotaan. Aktivitas Anjal dan Badut Lampu Merah memiliki dampak sosial dan ekonomi yang kompleks. Di satu sisi, mereka berhasil menciptakan sumber penghasilan baru yang membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, keberadaan mereka sering kali dianggap mengganggu ketertiban umum dan menimbulkan stigma negatif dari masyarakat. Namun, penting untuk memahami bahwa fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari konteks ketidakmerataan ekonomi dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kelompok marginalatau malah kita sendiri kelas menengah ke atas yang menutup mata.
Motif menjadi badut jalanan seringkali didorong oleh himpitan ekonomi dan keterbatasan keterampilan. Beberapa individu melihatnya sebagai alternatif untuk bertahan hidup, mencari modal usaha, atau menjaga harapan akan kehidupan yang lebih baik. Namun, tindakan ini juga menimbulkan kontroversi; sebagian masyarakat merasa terganggu dengan keberadaan mereka di jalanan, sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk hiburan yang menghibur. Selain itu, faktor kemiskinan dan pengangguran turut berkontribusi pada peningkatan jumlah badut jalanan. Beberapa individu memilih menjadi badut jalanan karena keterbatasan akses ke pekerjaan formal dan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun, fenomena ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas penegakan hukum dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah sosial tersebut.
Penting untuk melihat fenomena ini sebagai cerminan ketidakmerataan akses ekonomi dan kurangnya perhatian terhadap kelompok rentan di perkotaan.
Pendekatan yang holistik dan sensitif diperlukan untuk memahami dan mengatasi akar permasalahan yang dihadapi oleh Anjal dan badut lampu merah, tanpa stigma negatif, namun dengan upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Fenomena Anak Jalanan (Anjal) dan Badut Lampu Merah di perkotaan dapat dipahami melalui pertama teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Kedua Teori Dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman. Kedua teori ini memberikan perspektif berbeda namun saling melengkapi dalam memahami bagaimana individu dan kelompok ini membentuk identitas dan berinteraksi dalam masyarakat urban. Teori konstruksi sosial ini menjelaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui interaksi dan kesepakatan bersama dalam masyarakat. Tiga tahap pembentukan realitas sosial menurut Berger dan Luckmann: Eksternalisasi: Individu mengekspresikan ide dan pemikiran mereka melalui tindakan sosial, menciptakan produk budaya. Objektivasi: Produk budaya yang dihasilkan menjadi bagian dari struktur sosial yang lebih besar dan dianggap objektif oleh masyarakat.Internalisasi: Individu menerima dan menginternalisasi struktur sosial tersebut, menjadikannya bagian dari diri mereka. Dalam konteks Anjal dan Badut Lampu Merah, individu-individu ini muncul sebagai respons terhadap kondisi ekonomi dan sosial tertentu. Melalui interaksi sosial dan adaptasi terhadap kebutuhan ekonomi, mereka membentuk identitas dan peran sosial mereka. Keberadaan mereka di ruang publik, seperti persimpangan jalan, menjadi bagian dari konstruksi sosial yang mencerminkan stratifikasi sosial dan ketidakmerataan akses ekonomi di masyarakat urban.
Stigma negative atau positif yang diberikan oleh masyarakat dapat mempengaruhi identitas dan perilaku individu tersebut, serta cara mereka diperlakukan dalam struktur sosial. Pada bagaimana pemberian label atau stigma oleh masyarakat dapat mempengaruhi identitas dan perilaku individu. Dalam konteks Anak Jalanan (Anjal) dan Badut Lampu Merah, pemberian label negatif seperti “jorok”, “nakal”, atau “pengganggu” dapat mempengaruhi cara mereka diperlakukan oleh masyarakat dan bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Sebaliknya, beberapa label positif juga diberikan, seperti “menggemaskan” atau “lucu”, terutama terkait dengan badut jalanan yang menghibur di persimpangan lampu merah. Namun, label negatif cenderung lebih dominan dan dapat berdampak pada stigma sosial yang melekat pada individu tersebut. Stigma ini dapat mempengaruhi peluang mereka dalam mendapatkan pekerjaan formal, akses pendidikan, dan interaksi sosial lainnya. Dengan demikian, pemberian label kepada Anjal dan Badut Lampu Merah memiliki dampak signifikan terhadap identitas diri mereka dan cara masyarakat memandang serta memperlakukan mereka. Pendekatan yang lebih sensitif dan memahami konteks sosial-ekonomi mereka diperlukan untuk mengurangi stigma dan memberikan dukungan yang konstruktif.
Terkait empati dan kepedulian kita terhadap fenomena ini, seperti yang pernah disoroti teori Dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1956) mengibaratkan kehidupan sosial sebagai panggung teater, di mana individu berperan sebagai aktor yang menampilkan diri sesuai dengan situasi dan audiens tertentu. Goffman membagi interaksi sosial ke dalam dua area utama: Panggung Depan (Front Stage): Area di mana individu tampil di hadapan audiens, berusaha mengelola kesan yang ditampilkan melalui penampilan, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan harapan sosial.Panggung Belakang (Back Stage): Area di mana individu dapat melepaskan peran publik mereka, bersantai, dan bersikap lebih bebas tanpa pengawasan audiens.
Dalam konteks Anak Jalanan (Anjal) dan Badut Lampu Merah, teori dramaturgi dapat diterapkan untuk memahami dinamika identitas dan interaksi sosial mereka:Panggung Depan: Anjal dan Badut Lampu Merah berperan sebagai penghibur di ruang publik, seperti persimpangan jalan. Mereka menampilkan aksi menghibur, seperti mengamen atau berpose sebagai badut, untuk menarik perhatian dan mendapatkan simpati dari pengguna jalan. Penampilan mereka—termasuk kostum, ekspresi wajah, dan sikap—disesuaikan dengan harapan audiens untuk menciptakan impresi positif dan meningkatkan peluang mendapatkan penghasilan. Panggung Belakang: Setelah interaksi publik, Anjal dan Badut Lampu Merah kembali ke area di mana mereka dapat melepaskan peran sosial tersebut. Di sini, mereka mungkin berbagi pengalaman, merencanakan strategi penampilan berikutnya, atau sekadar beristirahat. Panggung belakang ini memberikan ruang bagi mereka untuk bersikap lebih autentik tanpa tekanan untuk mempertahankan penampilan publik.
Dengan mengintegrasikan kedua teori tersebut, kita dapat melihat bahwa identitas dan peran sosial Anjal dan Badut Lampu Merah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu, tetapi juga oleh konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Pendekatan ini membantu kita memahami bahwa identitas mereka terbentuk melalui interaksi sosial, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat urban. Selain itu, pemahaman ini menekankan pentingnya melihat mereka sebagai individu yang cerdas dalam menavigasi peran sosial, bukan sekadar objek belas kasihan atau stereotip negatif. Tetapi melalui proses ini juga kita bisa menilai, mengevaluasi dan ikut serta bahwa kedua fenomena ini tidak boleh menjadi profesi urban , sebab identitas dan peran sosial Anjal dan Badut Lampu Merah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu, tetapi juga oleh konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Pendekatan ini membantu kita memahami bahwa identitas mereka terbentuk melalui interaksi sosial, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat urban. Karena itu fenomena Anjal dan Badut Lampu Merah bukan hanya hasil dari faktor individu, tetapi juga merupakan konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh struktur sosial dan budaya yang ada. Ketidakpedulian masyarakat perkotaan akan membawa identitas dan peran sosial mereka terbentuk menjadi profesi baru dengan cara itu bisa membeli sesuatu .
Penting untuk diingat bahwa label negatif yang sering diberikan kepada Anjal dan Badut Lampu Merah dapat memperkuat stigma sosial dan mempengaruhi peluang mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih sensitif dan memahami konteks sosial-ekonomi mereka diperlukan untuk mengurangi stigma dan memberikan dukungan yang konstruktif. Dengan demikian, pemahaman yang holistik dan korektif terhadap fenomena ini dapat mendorong perubahan sosial yang lebih inklusif dan adil bagi semua lapisan masyarakat.