Bunga, Diplomasi, dan Kemitraan Strategis Untuk Presiden Prabowo Subianto
Oleh : Fathur Pramudya Putra, Kader Muda Nahdlatul Ulama
PADA Senin, 16 Juni 2025, Presiden Prabowo melakukan kunjungan kenegaraan ke Singapura dengan agenda utama adalah pertemuan tahunan Leaders’ Retreat di Parliament House. Dalam pertemuan itu, Prabowo juga dijadwalkan bertemu Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam.
Sebuah momen istimewa mewarnai kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto di Parliament House, Singapura. Presiden Prabowo Subianto diberikan kehormatan untuk mengusulkan nama bunga anggrek oleh Pemerintah Singapura sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu negara. Nama anggrek tersebut adalah “Paraphalante Dora Sigar Soemitro” sebagai bentuk penghormatan kepada ibunda tercinta sekaligus simbol mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dengan Singapura.
Diplomasi modern tidak selalu berlangsung di ruang-ruang formal dengan protokol kaku dan negosiasi teknis. Terkadang, momen paling bermakna dalam hubungan internasional justru lahir dari sentuhan personal yang sarat simbolisme.
Presiden diberi kehormatan untuk menamai anggrek tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada mendiang ibunda tercinta, Dora Sigar Soemitro. Keputusan ini bukan sekadar pilihan emosional, melainkan strategi diplomasi yang cerdas yang menggabungkan dimensi personal dan politis dalam satu tindakan simbolik.
“Anggrek Paraphalante Dora Sigar Soemitro” merupakan hibrida yang menawan dan dikenal sangat produktif dalam berbunga, menghasilkan tangkai bunga tegak sepanjang 30 hingga 40 cm dengan 8 hingga 12 kuntum bunga besar. Kemudian, berdiameter sekitar 7 cm yang tersusun anggun dalam formasi menghadap ke luar. Karakteristik yang secara metaforis mencerminkan sifat hubungan Indonesia-Singapura yang produktif, tegak, dan saling menghadap dalam kemitraan.
Pemberian nama tokoh Indonesia di luar negeri bukanlah fenomena baru dalam lanskap diplomasi internasional. Nama pahlawan nasional Indonesia telah banyak yang diabadikan di luar negeri, paling banyak di Belanda. Mohammad Hatta diabadikan sebagai nama jalan di Haarlem, Belanda. Jalan tersebut bernama Mohammed Hattastraat yang berada di kawasan
perumahan Zuiderpolder. Penamaan jalan tersebut mencerminkan penghargaan terhadap peran Bung Hatta dalam sejarah Indonesia dan hubungannya dengan Belanda.
RA Kartini bahkan dijadikan sebagai nama jalan di 4 wilayah berbeda di Belanda, termasuk di Amsterdam, Utrecht, dan Haarlem. Fenomena ini menunjukkan bagaimana diplomasi budaya dapat melampaui batasan waktu dan memberikan dampak jangka panjang terhadap persepsi internasional. Paling terkini adalah “President Joko Widodo Street” di Al Rawdah, Abu Dhabi yang memiliki panjang 1,64 km, mencerminkan hubungan erat Indonesia dengan UEA sekaligus bentuk penghormatan Pemerintah UEA kepada Jokowi dalam memajukan hubungan bilateral.
Pola serupa terlihat dalam berbagai bentuk pengabadian nama tokoh Indonesia di mancanegara. Soekarno diabadikan dalam Ahmed Soekarno Street di Mesir. Bahkan, pemerintah Maroko mengabadikan nama Presiden Soekarno menjadi nama salah satu jalan utama di ibu kota Rabat, yakni Rue Soekarno. Langkah ini diambil karena jasa besar Soekarno dalam memprakarsai Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 yang turut mendukung perjuangan kemerdekaan Maroko. Sebagai wujud rasa terima kasih atas dukungan tersebut. Maroko tidak hanya mengabadikan nama pemimpin Indonesia itu dalam tata kota mereka, tetapi juga memberikan kemudahan bagi warga negara Indonesia untuk berkunjung ke Maroko tanpa memerlukan visa dalam jangka waktu hingga 90 hari. Sementara Pattimura mendapat tempat di Pattimurastraat di Wierden, Belanda. Setiap penamaan ini bukan sekadar penghormatan ceremonial, melainkan investasi diplomasi jangka panjang yang membangun narasi positif tentang Indonesia di mata internasional.
Strategi Diplomasi Kontemporer ala Presiden Prabowo Subianto.
Pemberian nama anggrek Paraphalante Dora Sigar Soemitro merepresentasikan evolusi diplomasi Indonesia menuju pendekatan yang lebih personal dan simbolis. Dalam teori hubungan internasional, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai soft diplomacy atau diplomasi lunak, yang mengedepankan kekuatan persuasi budaya dan emosional dibandingkan tekanan politik atau ekonomi.
Joseph Nye Jr., dalam bukunya yang berjudul “Soft Power: The Means to Success in World Politics” (2004), menjelaskan bahwa kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi negara lain melalui daya tarik budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri yang legitimate. Hal tersebut seringkali lebih efektif daripada tekanan koersif (hard power). Pemberian nama anggrek dengan menyertakan nama ibunda Presiden Prabowo menciptakan dimensi emosional yang membuat diplomasi menjadi lebih manusiawi dan berkesan mendalam.
Anggrek tersebut menjadi simbol kedekatan personal sekaligus wujud penghargaan diplomatik dalam tradisi Singapura. Singapura, sebagai negara yang memahami pentingnya simbolisme dalam diplomasi, menerima gesture ini sebagai bentuk penghormatan yang bermakna. Hal ini sejalan dengan strategi diplomasi kontemporer yang mengutamakan people- to-people connection dan menciptakan ikatan emosional antarbangsa.
Keberhasilan soft diplomacy terukur dari kemampuannya menciptakan goodwill dan membangun fondasi kepercayaan untuk kerjasama jangka panjang. Pemberian nama anggrek ini bukan sekadar simbolisme kosong, melainkan investasi diplomasi yang akan terus “berbunga” dalam bentuk kerja sama bilateral yang lebih kuat. Setiap kali anggrek Paraphalante Dora Sigar Soemitro berbunga di Singapura, ia akan mengingatkan publik Singapura akan ikatan historis dan persahabatan dengan Indonesia.
Dari perspektif semiotika politik, pemberian kehormatan nama anggrek ini sarat dengan pesan-pesan simbolis yang dapat dibaca dalam berbagai lapisan makna. Roland Barthes mengenai teori semiotika dalam karyanya yang berjudul “Elements of Semiology (1964)”, menjelaskan bahwa setiap tanda memiliki tingkat denotasi (makna harfiah) dan konotasi (makna simbolis). Pada tingkat denotasi, pemberian nama anggrek adalah tindakan sederhana penghormatan kepada ibu. Namun, pada tingkat konotasi, tindakan ini mengkomunikasikan pesan-pesan diplomatik yang kompleks.
Pertama, pemilihan nama ibunda mengkomunikasikan nilai-nilai ketimuran Indonesia yang menjunjung tinggi keluarga dan menghormati orang tua. Ini menciptakan citra Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan memegang teguh nilai-nilai luhur.
Kedua, kesempatan diberikan nama pada bunga anggrek yang merupakan bunga nasional Singapura menunjukkan penghormatan Indonesia terhadap simbol-simbol nasional Singapura, mencerminkan sikap mutual respect dalam hubungan bilateral.
Ketiga, karakteristik anggrek yang produktif berbunga dan tumbuh tegak menjadi metafora hubungan Indonesia-Singapura yang diharapkan selalu produktif menghasilkan kerja sama dan berdiri tegak menghadapi tantangan regional maupun global. Keempat, nama “Paraphalante” yang berarti “seperti ngengat” dalam bahasa Latin mengandung simbolisme transformasi dan metamorfosis, mencerminkan harapan akan transformasi hubungan bilateral menuju tingkat yang lebih tinggi.
Penguatan Hubungan Bilateral Indonesia
Kesempatan yang diberikan untuk memberikan nama anggrek Paraphalante Dora Sigar Soemitro memiliki implikasi strategis yang melampaui simbolisme diplomatic. Pertama, tindakan ini menciptakan diplomatic capital yang dapat dimanfaatkan Indonesia dalam negosiasi-negosiasi bilateral di masa depan. Singapura, yang merasa dihormati melalui gesture ini, akan lebih terbuka untuk kerja sama yang saling menguntungkan.
Kedua, dari perspektif public diplomacy, tindakan ini menciptakan citra positif Indonesia di mata publik Singapura. Setiap kali anggrek tersebut dipamerkan atau dibicarakan, ia akan mengingatkan publik Singapura akan persahabatan dengan Indonesia. Hal ini penting mengingat hubungan Indonesia-Singapura tidak selalu mulus dalam sejarah, dengan berbagai isu sensitif seperti asap, TKI, dan perbedaan pendekatan regional.
Ketiga, pemberian nama anggrek ini dapat menjadi model diplomasi budaya Indonesia dengan negara-negara lain. Pendekatan personal dan simbolis terbukti efektif dalam menciptakan memorable moments dalam diplomasi. Indonesia dapat mengadaptasi pendekatan serupa dengan negara-negara mitra lainnya, tentu dengan menyesuaikan konteks budaya dan tradisi diplomatik masing-masing negara.
Keempat, tindakan ini memperkuat posisi Indonesia sebagai middle power yang mampu berdiplomasi dengan cara yang sophisticated dan berbudaya. Di tengah persaingan geopolitik yang semakin keras, kemampuan berdiplomasi dengan pendekatan yang humanis dan personal menjadi competitive advantage tersendiri bagi Indonesia.
Anggrek Paraphalante Dora Sigar Soemitro bukan sekadar bunga hasil hibridisasi botanis, melainkan simbol hibridisasi diplomasi yang menggabungkan dimensi personal, budaya, dan politik dalam satu tindakan strategis. Seperti anggrek yang produktif berbunga
dengan 8 hingga 12 kuntum besar yang menghadap ke luar, hubungan Indonesia-Singapura diharapkan akan terus produktif menghasilkan kerja sama dengan berbagai dimensi yang saling menghadap dalam partnership yang setara.
Kesempatan dalam memberikan nama anggrek ini membuktikan bahwa diplomasi kontemporer memerlukan kreativitas dan kepekaan budaya. Tidak semua pencapaian diplomatik diukur dari volume perdagangan atau kesepakatan politik formal. Terkadang, investasi diplomasi terbaik adalah yang menyentuh hati dan menciptakan ikatan emosional yang tahan lama.
Kedepannya, anggrek Paraphalante Dora Sigar Soemitro akan terus mekar sebagai saksi bisu persahabatan Indonesia-Singapura. Setiap kali berbunga, ia akan mengingatkan kedua bangsa bahwa dalam diplomasi, seperti dalam berkebun, yang terpenting adalah kesabaran, perawatan, dan cinta—nilai-nilai yang diajarkan seorang ibu kepada anaknya, dan kini diajarkan Indonesia kepada dunia melalui bahasa universal keindahan dan persahabatan. @