Tak Bisa Sembuh Sendiri, Ini 5 Fakta Penting Soal Saraf Terjepit
Jakarta, Extranews—- Semua orang punya risiko mengalami saraf terjepit, baik orang dengan gaya hidup aktif maupun orang mageran yang aktifnya scrolling di medsos. Kok, bisa? Bisa, karena saraf terjepit tak mengenal usia dan profesi. Dari ibu rumah tangga hingga atlet, bisa mengalami saraf terjepit. Meskipun, ada orang yang memang memiliki risiko lebih tinggi.
Tapi, apa sebenarnya yang terjadi ketika saraf kita terjepit?
“Secara harfiah, saraf terjepit memang berarti saraf yang terjepit di antara ruas-ruas tulang belakang. Saraf terjepit tidak akan terjadi, jika tidak ada perubahan struktur tulang. Artinya, harus terjadi penyempitan dahulu pada ruas tulang belakang,” kata dr. Irca Ahyar Sp.N, DFIDN dari DRI Clinic.
Jika Anda sedang berjuang dengan kondisi saraf terjepit, ini 5 fakta penting yang perlu Anda ketahui.
Tak terjadi dalam semalam
Menurut dr. Irca, secara umum ada dua penyebab saraf terjepit. Pertama, trauma atau benturan. Misalnya, akibat terpeleset dan jatuh dalam posisi terduduk, kecelakaan motor yang menyebabkan Anda jatuh telentang dengan benturan pada tulang belakang, atau benturan akibat aktivitas olahraga high impact, seperti sepak bola dan basket.
“Perubahan struktur tulangnya memang benar-benar baru terjadi. Contohnya, kita mengangkat beban berat tapi sebetulnya otot tidak siap atau kita salah posisi,” katanya, menjelaskan.
Kedua, proses yang lama. Sewaktu masih anak-anak, tak sedikit dari kita yang jatuh dari pohon atau tangga. Orang tua biasanya hanya menganggap itu jatuh biasa, bukan kejadian yang serius. Sehingga, ketika muncul rasa sakit, orang tua akan menilai bahwa sakitnya karena jatuh, lalu mengesampingkan gejala lain.
“Ketika dewasa dan melakukan olahraga angkat beban, otot pinggang kita bisa tiba-tiba terasa tertarik sampai ke bokong. Saat pemeriksaan X-ray, akan diketahui bahwa kondisi tersebut tidak terjadi dalam satu malam. Artinya, sebetulnya pergeseran tulang sudah terjadi beberapa tahun silam akibat jatuh sewaktu kecil, tapi gejalanya baru terpicu ketika kita mengangkat beban berat, seperti saat nge-gym atau angkat galon,” kata dr. Irca.
Trauma baru maupun proses yang lama bisa tergambar jelas lewat pemeriksaan. Semakin kompleks gambaran struktur tulangnya, semakin jauh pula penelusuran ke belakangnya. Semakin simpel gambarnya, berarti kejadiannya terbilang baru.
Lalu, benarkah duduk lama di depan komputer bisa menyebabkan saraf terjepit? Dokter Irca menjelaskan, aktivitas tersebut tergolong sebagai habit. Habit seperti itu, atau habit main ponsel sambil tiduran dengan posisi tengkurap miring, atau posisi duduk lama dengan postur tubuh membungkuk, sebenarnya memiliki risiko kecil terhadap terjadinya saraf terjepit. Postur salah yang hanya dilakukan sesekali akan menyebabkan perubahan otot, bukan saraf terjepit.
“Tapi, jika dilakukan terus-menerus secara konsisten selama katakanlah satu tahun, postur tubuh yang salah itu juga bisa mengubah struktur tulang belakang. Apalagi, jika sebelumnya ada riwayat benturan. Tulang bisa bergeser, celah di antara tulang bisa menyempit,” kata dr. Irca.
Lebih lanjut, ia menguraikan, ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu struktur tulang belakang yang memang secara genetik tidak bagus, yaitu skoliosis. Ini juga menurutnya menjadi faktor yang sering kali terabaikan, karena orang tidak mencari tahu riwayat keluarga dengan skoliosis, jika tidak merasakan gejala berarti.
Berawal pegal di area lokal
Spektrum gejala saraf terjepit cukup luas, mulai dari pegal, nyeri, kesemutan, hingga sensasi tersetrum dan mati rasa. Hanya saja, gejala tersebut dirasakan di bagian tubuh yang digerakkan oleh saraf pada tulang belakang. Misalnya, di pinggang saja, atau dari pinggang menyebar ke paha sampai ke ujung kaki.
Bagaimana membedakan pegal akibat lelah dan pegal akibat saraf terjepit?
“Pegal biasa umumnya akan hilang jika dipijat, atau ketika kita istirahat sebentar. Sedangkan pegal akibat saraf terjepit cenderung konsisten. Kalaupun hilang sesaat, dia akan muncul kembali di area yang sama. Begitu terus-menerus. Ketika pegalnya secara konsisten dirasakan di pinggang, misalnya, Anda sebaiknya menjalani pemeriksaan penunjang untuk memastikan,” kata dr. Irca.
Ia menjelaskan, rasa pegal ini sering kali diabaikan, karena dianggap gejala ringan. Banyak pasien mengira pegal itu akan hilang sendiri. Inilah kenapa gejala pegal sering kali misleading. Karena dikira pegal biasa, seseorang jadi tidak datang ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Benturan, baik yang terjadi di bagian bawah, samping, atau tengah, tidak selalu segera menimbulkan gejala. Kalaupun muncul gejala, belum tentu dirasa mengganggu. Hal ini tergantung pada usia. Jika usia masih produktif atau masih anak-anak, gejala tersebut cenderung terabaikan. Jika benturan terjadi pada usia 45 tahun ke atas, maka jatuh selembut apa pun akan menimbulkan gejala yang cukup signifikan. Kenapa?
“Ketika bertambah usia, struktur otot kita melemah. Akibatnya, pergeseran tulang sekecil apa pun akan menimbulkan gejala yang signifikan. Nyeri dan kesemutan akan sangat terasa. Skala nyerinya tergantung pada pasien. Kalau seorang pasien tidak mudah bilang nyeri, namun sampai mengeluh nyeri ketika jatuh, berarti kemungkinan besar ia merasa kesakitan sekali,” kata dr. Irca.
Risiko lumpuh lokal
Saraf terpanjang pada tubuh manusia terdapat di tulang belakang, dari tulang leher hingga tulang ekor. Saraf di setiap bagian tulang mempunyai tugas tersendiri. Contohnya, saraf di bagian tulang leher bertugas menggerakkan tangan, sedangkan saraf di bagian punggung bawah menggerakkan kaki.
Dan, yang namanya saraf terjepit hanya bisa terjadi di sepanjang tulang belakang. Kenapa demikian?
Sederhananya, tidak seperti tulang lain, di sepanjang tulang belakang terdapat banyak cabang tulang di bagian kiri dan kanan, yang masing-masing memiliki saraf. Jadi, saraf di sekitar tulang belakang sangat banyak sehingga risiko terjadinya saraf terjepit menjadi tinggi.
Selain itu, di antara ruas-ruas tulang terdapat gap atau celah berisi jaringan tisu. Fungsinya seperti bantalan untuk tulang. Saat terjadi benturan, tulang bergeser dan celah di antara ruas tulang menyempit, bantalan akan terjepit sehingga menonjol keluar. Akibatnya, saraf di sekitar akan terjepit, karena tak banyak ruang tersisa akibat pergeseran struktur tulang.
“Jika saraf terjepit terabaikan, tidak mendapatkan pengobatan yang sesuai, atau tidak diterapi dengan benar, saraf akan rusak. Saat kerusakan saraf terus memburuk, hal terburuk yang mungkin terjadi adalah kematian saraf lokal,” kata dr. Irca, menjelaskan.
Sebutlah saraf terjepit terjadi di lumbar 3 (L3) yang bertugas menggerakkan paha. Maka, jika tidak diterapi, otot paha bagian luar akan mengecil dan fungsinya tidak berjalan dengan benar. Saraf memiliki dua tugas, yaitu menggerakkan otot dan mengatur raba rasa.
“Jika fungsi raba rasa terganggu, saat kaki ditusuk dengan benda tajam sekalipun, kita tidak akan bisa merasakan apa pun. Kondisi tersebut menjadi berbahaya, ketika ada luka di kaki yang sakitnya tidak bisa kita rasakan. Di samping itu, ada pula risiko kelumpuhan. Namun, pada kasus saraf terjepit, hanya terjadi kelumpuhan lokal di area yang digerakkan oleh saraf yang terjepit saja.”
Regenerasi saraf perlu proses
Karena melibatkan perubahan struktur tulang, dr. Irca menjelaskan, saraf terjepit tidak bisa sembuh dengan sendirinya. Tapi, bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Saraf terjepit yang tergolong ringan bisa diatasi dengan stretching atau relaksasi otot.
“Separah apa pun kondisinya, selalu ada solusi treatment. Hanya saja, yang perlu dipahami, treatment itu sering kali memerlukan proses yang panjang. Sebab, regenerasi saraf berjalan sangat lambat, tidak seperti kulit. Apalagi, jika kondisinya berat. Yang jelas, dokter akan memaksimalkan treatment. Seandainya tidak bisa pulih total, paling tidak bagian tubuh yang sarafnya sempat lumpuh akan bisa digerakkan dan difungsikan kembali,” kata dr. Irca.
Karena itu, agar pemulihannya juga maksimal, pasien diharapkan bisa menghargai proses. Setelah beberapa kali terapi dan merasa nyerinya sudah hilang, banyak pasien memutuskan tidak kembali lagi untuk terapi lanjutan. Padahal, dokter perlu memperbaiki sumber masalahnya. Jika masalahnya terletak pada tulang, berarti dokter harus memperbaiki struktur tulang. Proses perbaikan tulang bukan hal yang mudah dan memerlukan waktu lama.
“Sebab, tulang dilapisi oleh otot. Kami terlebih dahulu harus merelaksasi otot yang terdiri dari banyak sekali lapisan, agar kemudian bisa memperbaiki tulang. Dan, proses ini panjang. Namun, pasien perlu melewati proses tersebut agar sumber masalahnya dapat diperbaiki secara optimal, sehingga mereka tidak kembali lagi dengan keluhan yang sama.”
Dalam kasus saraf terjepit, yang ditangani dokter bukan nyeri, melainkan sumber masalah, sehingga gejala yang mengikutinya menghilang seiring waktu. Jika jarak antar tulang sudah bagus, tidak ada yang terjepit, maka tidak ada lagi rasa nyeri. Kalau jaraknya masih agak sempit, masih ada saraf yang terjepit, maka rasa nyeri itu masih akan dirasakan.
“Inilah yang terkadang menyebabkan pasien menjadi tidak puas. Mereka bilang sudah ke dokter, tapi rasa nyeri masih ada. Hal itu terjadi, karena mereka terbiasa dengan obat. Mengembalikan struktur tulang ke posisi awal tidak bisa instan, kecuali dengan operasi, yang sebenarnya juga tetap menimbulkan rasa nyeri.”
Kenali kekuatan tubuh sendiri
Pertanyaannya, bisakah saraf terjepit dicegah, atau paling tidak diminimalkan risikonya? Sangat bisa. Saran dr. Irca, langkah pertama adalah mengenali tubuh kita sendiri. “Sebesar apa kemampuan otot kita, seberat apa beban yang bisa kita bawa, apakah postur tubuh kita sudah baik saat melakukan sesuatu, olahraga apa saja yang kita lakukan, aktivitas harian apa yang kita jalani, dan sebagainya.”
Kalau pekerjaan kita sehari-hari tidak melibatkan pembentukan otot, maka otot tulang belakang tidak akan terbentuk. Itu berarti, kemampuan otot kita untuk mengangkat beban, tidak akan besar. Untuk mengangkat beban seberat 2,5 kg saja, otot kita mungkin tidak mampu.
“Ketika otot yang tidak terlatih dipaksa untuk mengangkat beban berat, otot tersebut akan mencengkeram kuat-kuat, hingga kemudian menjadi kaku. Otot yang kaku akan menggenggam tulang belakang terus-menerus. Akibatnya, celah di antara tulang akan menyempit, hingga kemudian menyebabkan saraf terjepit.”
Dokter Irca juga menyarankan stretching untuk tulang belakang. Stretching yang dilakukan dengan benar bisa membantu peregangan, melenturkan otot,, sekaligus mengurangi tekanan pada otot di tulang belakang.
Di samping itu, ia sangat berharap, anak usia remaja dan sekolah, bisa menjalani screening dini untuk pemeriksaan tulang belakang. “Lewat screening, struktur tulang seseorang bisa diketahui. Sehingga, ketika suatu kali merasakan pegal di pinggang, misalnya, dokter sudah tahu bahwa pasien tidak punya kelainan struktur tulang sebelumnya. Hal ini akan memudahkan dalam menentukan treatment terbaik,” kata dr. Irca, yang juga menyarankan orang berusia produktif untuk menjalani screening.
***
Tentang DRI Clinic
DRI Clinic adalah pusat layanan medis multidisiplin yang berfokus pada penanganan menyeluruh untuk masalah saraf Berlokasi di area perkantoran jalan Sudirman (Jakarta Pusat) dan Bintaro (BSD), DRI Clinic menghadirkan pendekatan terpadu yang menggabungkan neurologi, kedokteran olahraga, hingga rehabilitasi fisik dan medik. Didukung oleh tim dokter spesialis dan terapis berpengalaman dan peralatan penunjang dengan teknologi terkini yang lengkap, DRI Clinic berkomitmen memberikan solusi yang tidak hanya mengobati gejala, tetapi juga mengatasi akar permasalahan kesehatan pasien secara holistik dan personal. DRI Clinic menjadi mitra terpercaya bagi pasien yang ingin kembali aktif dan hidup tanpa nyeri. Info lebih lengkap: www.driclinic.id.
https://www.instagram.com/