OPINI  

Wartawan dan Moralitas Catatan Hendry Ch Bangun

Hendry Ch Bangun

Ada teman wartawan dari daerah bertanya, mengapa sihmoralitas sangat penting bagi profesi wartawan?

Saya lalu menceritakan ulang apa yang pernah disampaikanrekan Wina Armada di pelatihan jurnalistik. Katanya, “Seorangsuami akan marah apabila istrinya dicolek dan disentuh, tetapiketika memeriksakan kehamilan istrinya ke seorang ginekolog, si suami bahkan mau membayar meski istrinya disentuh danbahkan pada tahap tertentu dipegang payudara atau kelaminnyauntuk mengetahui tahap kehamilan si istri. Mengapa suamipercaya, karena dia yakin akan profesionalisme dan moralitas sidokter.”

Profesionalisme dokter sudah melekat di benak masyarakat, sehingga hampir tidak pernah ada gugatan atas tindakan medisyang dilakukannya, walau di satu dua kasus selalu ada sajaprotes keluarga pasien. Sementara untuk profesi wartawan, adamasa dimana mereka dianggap sebagai guru masyarakat karenamemilah apa yang penting dan bermanfaat, dan bertindakmelulu untuk kepentingan publik. Wartawan dulu adalah tokoh, yang reputasinya dipuji.

Mungkin saat ini kepercayaan publik mulai surut dan barangkaliada pada titik yang rendah, meskipun untuk media tingkatkepercayaan sebagaimana hasil survei Edelman tahun 2022, masih relatif tinggi yakni 73, naik dari 72 tahun lalu. Semakinbanyaknya orang yang menyatakan dirinya wartawan, membuatrentang kompetensinya bisa dari A sampai Z. Mulai dari yang sangat kompeten, diakui kehebatannya sampai di duniainternasional, sampai yang sangat tidak kompeten sehinggamenulis berita saja terbata-bata dan tidak faham Kode EtikJurnalistik.

Pentingnya moralitas sebagai wujud dari profesionalismeseharusnya ditampakkan seorang wartawan dalam enamkegiatan jurnalistik, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dalamsegala bentuk dan platform-nya. Di dalam uji kompetensi, kodeetik sudah diterapkan pada saat membuat usulan liputan, jadimoralitas sudah harus ada saat merencanakan. Sebab kalau di hulu cacat, tentu hasil akhirnya sebagai berita akan cacat pula.Bisa jadi, ada itikad tidak baik, atau keberpihakan, upayamenyesatkan informasi, dsb yang dikemas dengan imbalantertentu.

Wartawan yang bergabung dalam organisasi profesi memilikitanggungjawab lebih, karena selain bekerja di sebuahperusahaan pers, dia adalah anggota. Dia dituntut untuk menjagamarwah dan martabat organisasinya, yang diatur dalamAnggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga atau Statuta, ditambah dengan Kode Etik organisasi. Padahal dia sudah harustunduk pada Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia, yang disepakati masyarakat pers dan ditetapkan sebagai PeraturanDewan Pers pada 14 Maret tahun 2006. ***

BACA JUGA INI:   Gegap Gempita Elit Politik

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), memberi penekanan padasifat yang harus dimiliki anggotanya sebagai manusia di Pasal 1, dan baru masuk ke bagaimana dia sikap yang harus dimilikidalam profesinya sebagai wartawan di Pasal 2. Ini berbedadengan KEJ Dewan Pers, yang lebih menekankan pada profesikewartawanan. Mari kita lihat:

KEJ PWI, Pasal 1: Wartawan beriman dan bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat Undang-UndangDasar Negara RI, ksatria, bersikap independen serta terpercayadalam mengemban profesinya.

KEJ Dewan Pers, Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikapindependen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dantidak beritikad buruk.

Jelas terlihat, bagi PWI soal moralitas sangat penting, ditandaidengan keharusan beriman dan bertakwa kepada Sang Pencipta, kemudian juga harus menjadi warga negara sejalan denganideologi bangsa, dan tunduk pada konstitusi negara. AnggotaPWI jelas diposisikan sebagai orang beriman terlebih dahulu, Pancasilais, taat pada undang-undang dasar, baru kemudian diamenjadi wartawan yang profesional. Artinya, anggota PWI menekankan pada kewargaan Indonesia dulu, baru profesikewartawanan.

Sementara di KEJ Dewan Pers, yang dikedepankan adalahprofesinya, tidak peduli apakah itu lalu berseberangan ataubertentangan dengan statusnya sebagai warga negara atau tidak. Wartawan adalah profesi yang bebas domisili, bebas negara. Acuannya memang kewartawan yang bersifat universal, hakasasi universal, mengacu pada globalisme.

Di Pasal 1 itu ada kata ksatria dan terpercaya, dua kata yang membuat kita membayangkan keluhuran budi, sikap arifbijaksana, bertanggungjawab, menjunjung tinggi kebenaran, rendah hati, jujur, yang seharusnya menjadi salah satu cirianggota PWI dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Tentusaja sifat-sifat itu ideal dan tidak mudah dijalankan, tetapisetidaknya itulah harapan para pendiri dan pendahulu PWI yang kita hormati kepada orang yang sukarela masuk ke organisasiPWI. Dan mereka yang menjadi pengurus PWI baik di tingkatnasional, provinsi, ataupun kabupaten-kota, berkewajibanmenjaga kewibawaan organisasinya dengan terus mengawalagar anggotanya taat pada Kode Etik. ***

BACA JUGA INI:   Media dan Sumber Informasi, Catatan Hendry Ch Bangun

Heboh kasus anggota polisi Umbaran Wibowo yang sempatmenjadi wartawan selama 14 tahun dan menjadi anggota PWI dengan status Wartawan Madya, sedikit banyak menggerus rasa percaya masyarakat pada profesi wartawan.  Bisa jadi adamasyarakat yang akan bertanya-tanya apakah wartawan yang dihadapinya wartawan sungguhan atau apparat penegak hukumyang sedang menyamar? Di sisi lain moralitas wartawan jugaakan menurun karena kolegialisme jadi ikut terusik, bisa jadi diatidak lagi memercaya rekan kerjanya yang kebetulan sama-samameliput suatu peristiwa.

Walaupun selama ini di daerah tertentu banyak wartawan yang tahu bahwa ada banyak orang yang menjadikan pekerjaanwartawan sebagai tameng untuk mendapatkan informasi darimasyarakat, kasus Umbaran Wibowo, menimbulkan trauma. Pemecatan yang telah dilakukan Dewan Kehormatan PWI—untuk ditindaklanjuti Pengurus PWI Pusat belum akan segeramemulihkan kepercayaan. Karena dampaknya tidak hanyaterkait dengan PWI tetapi prfesi wartawan secara keseluruhan. Dewan Kehormatan PWI juga seharusnya menyisir kembalianggota-anggota PWI secara menyeluruh, baik secara langsungmaupun melalui DK Provinsi, sehingga kasus seperti UmbaranWibowo tidak terjadi lagi. Bisa juga dengan menunggupengaduan dan informasi dari masyarakat.

Saya beberapa kali mendapat informasi di sejumlah provinsi adaASN yang memiliki kartu kompetensi, padahal dia tidakmelakukan kerja jurnalistik, dengan tujuan untuk menakut-nakuti atasannya atau mengambil keuntungan pribadi. Sayangnya informasi yang diberikan tidak lengkap jadi tidakdapat dilaporkan baik ke Dewan Pers ataupun ke Pengurus PWI Pusat. ***

Kembali ke soal moralitas, dalam tarafnya yang tertinggi, seseorang yang merasa bahwa dirinya sudah tidak layak menjadiwartawan, akan mengundurkan diri secara ksatria. Saatmemimpin di suatu media, ada dua anak buah saya yang menyampaikan surat berhenti karena dia tidak lagi merasa cukuppantas menjadi wartawan. Alasannya, pendapatan tidakmemadai dan dia tidak mau mencederai kewartawanannya. Sayabangga karena mereka kini dalam posisi yang baik di sebuahperusahaan swasta, dengan gaji yang mungkin 5 kali lipatdibanding pendapatan saat menjadi wartawan.

BACA JUGA INI:   Semangat Emansipasi Kartini di Dunia Jurnalistik, Oleh :Umi Sjarifah adalah Pemimpin Redaksi Majalah Sudut Pandang, Sudutpandang.id, Bendahara Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) dan Wakil Bendahara PWI Pusat

Bukan hanya di sini, bahkan di Amerika Serikat ada pemenangPulitzer yang memilih berhenti dan pindah pekerjaan menjadipublic relations di perusahaan swasta, dengan alasan bahwamasa depan perusahaan media tidak lagi menjanjikan. Dan perhitungannya benar karena gelombang PHK di negeri itu terusterjadi, karena pendapatan terus berkurang drastic dan bisnismedia memasuki senjakala.

Anehnya di Indonesia, jumlah wartawan malah semakin banyak, seperti juga jumlah media siber yang terus meningkat meskibanyak yang dalam status hidup segan mati tak mau. Begitu pula dengan jumlah organisasi wartawan, yang terus bermunculanbaik di tingkat lokal maupun nasional. Entah apa makna darifenomena ini, karena faktanya, skala ekonomi media makinmengkerut, dan kompetisi memperebutkan kue iklan dananggaran APBD semakin sengit.

Mengurus media dan wartawan akan semakin sulit bagi DewanPers dan organisasi wartawan Konsituen Dewan Pers, khususnyaPWI, AJI, IJTI, PFI dan organisasi perusahaan pers SPS, SMSI, AMSI, JMSI. Menjaga moralitas dan meyakini bahwa para wartawan dan perusahaan media itu memahami danmenjalankan kode etik jurnalistik, menjadi tugas yang amatberat.

Wallahu alam bishawab.

Ciputat 17 Desember 2022

lion parcel