Asdit Abdullah, Ketua PWI Periode 1991-1999, Kini Telah Tiada

9F8206DA 4AFF 4FBE BEDA 9AE0C0B2BAF7

Palembang, Extranews —- Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumsel periode 1991-1999 wafat, tepat pukul 17.47, Senin, 30 Mei 2022, di RS Bhayangkara.

Segenap pengurus PWI Sumsel dan seluruh anggota PWI Sumsel Ikut berduka cita dan semoga almarhum husnul khotimah.

 

3A5CDFEA 5D52 45A8 BE3C 07A72879ABFE 2D82A19E C33E 4FA7 BF16 F067BAE65754

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kabar duka ini disampaikan oleh anak sulung almarhum, Asmarudin, Senin (30/5) via telepon.

“Almarhum akan dibawa di rumah duka di kediamannya Komplek Bukit Sejahtara (Poligon) Blok BL No 12 Palembang,” ujar Asmarudin.

Menurut Asmarudin karena kondisi almarhum nge-drop HB turun dan dibawa ke rumah sakit.

Asmarudin berharap kepada berbagai pihak mohon doa dan maaf serta keihlasan atas sepeninggal almarhum.

Sahabat almarhum, Kurnati Abdullah dihubungi tadi malam, mengaku sangat terkejut. “Saya sudah lama tidak bertemu beliau,” ujar Kurnati.

Kurnati yang juga ketua PWI periode 1999-2009 ini sempat bertemu saat acara Award PWI Sumsel yang digelar saat HPN di Banyuasin.

Pada HPN 2021, di Banyuasin, PWI Sumsel memberikan Award ke sejumlah tokoh pers. Termasuk salah satunya, almarhum Asdit Abdullah.

Dari data yang disampaikan oleh anak beliau, Asmarudin, almarhum Asdit lahir 14 April 1950 merupakan putera kedua dari sembilan bersaudara dari ayah Idrus Abdullah dan Ibu Hj. Saudah Masulili yang berasal dari Desa Pagimana Kabupaten Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah.

Setamat SMA, Asdit remaja diminta pamannya H. Djadil Abdullah untuk meninggalkan kampung halaman, merantau ke Jakarta melanjutkan kuliah. Dia sempat kuliah di STTN Cikini Jakarta, namun sayangnya tidak dapat diselesaikan karena alasan keuangan, sisi lain baik orang tua maupun sang paman juga tidak dapat berbuat banyak karena kondisi ekonomi saat itu yang serba sulit.

Seiring kesibukan sang paman sebagai salah seorang tokoh politik asal daerah Sumatera Bagian Selatan yang sering ke Palembang, memaksa dia untuk kembali hijrah dan akhirnya menetap di Kota Palembang.617750FE 1296 48C9 ADF4 6586678E37B7 34C09E1A D8F7 4B26 B590 0D76C76FD8E3

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Disini kembali dia mencoba kuliah di Universitas Sriwijaya Jurusan Pertambangan. Minat dan bakatnya pada dunia “tulis menulis” dikenalnya sejak dibangku kuliah dengan menulis tulisan yang dikirimkan ke berbagai media cetak nasional dan aktif di Radio Sigma (Siguntang Mahameru) Unsri yang didirikannya bersama teman-temannya.

Asdit muda memulai karir sebagai wartawan di usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1971 di SKH. Suara Rakyat Semesta (SRS) yang didirikan oleh Pamannya H. Djadil Abdullah, yang juga dikenal sebagai seorang wartawan disamping politikus dan anggota DPR RI kala itu.Naluri jurnalistiknya pun semakin terasah karena dapat terjun langsung dan belajar di lingkungan perusahaan media cetak, dan dia saat itu mulai diberikan kepercayaan penuh membantusang paman mengelola penerbitan “SRS”.

Pada Tahun 1974, dia berkesempatan mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Wartawan, Kerjasama Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers (LPKP), LP3S Dan PWI Pusat di Jakarta.Dia pun berkenalan akrab dengan Dahlan Iskan (Pemilik Jawa Pos Group) yang menjadi teman sekamar dan praktek dilapangan. Menurutnya, Pendidikan dan Pelatihan yang dia ikuti tersebut benar-benar menguras pikiran, tenaga dan melelahkan, karena tidak hanya teori melainkan terjun langsung praktek mencari berita dilapangan, serta dituntut juga untuk dapat menulis berita dengan cepat dan benar, kalau salah menulis, langsung diremas instruktur dan menjadi “makanan”tong sampah dan harus membuat ulang dari awal lagi.

BACA JUGA INI:   Angin Kencang, Pohon di Merdeka Tumbang

Sepulang dari mengikuti Pendidikan dan Pelatihan tersebut, dia pun diangkat menjadi korektor disamping tetap menjadi wartawan di “SRS”. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena berbeda pandangan dan sikap dengan sang paman.

Dia saat itu mengajukan keinginannya untuk menikah dengan tetap kuliah, tetapi sang paman menolaknya mentah-mentah dan menginginkannya untuk tetap fokus menyelesaikan studinya di Unsri. Dengan penuh keyakinan, Asdit muda kala itu berprinsipbahwa “Keberuntungan hanya berpihak pada orang-orang yang berani, dan orang yang takut kalah, tidak akan pernah meraih kemenangan,”dia pun melangkah pasti dan tetap teguh dengan pendiriannya, yaitu menikah, dengan gadis asal Sulawesi Selatan, Maryati, meskipun konsekwensinya harus meninggalkan dan kehilangan pekerjaan di “SRS”serta kuliah menjaditerbengkalai, tak terselesaikan.

Pasca berhenti dari “SRS”, takdir pun telah menggariskan untuk tetap berprofesi menjadi wartawan, alih-alih berganti profesi, dia malah mendapat tawaran menjadi Koresponden Majalah Berita Mingguan “Tempo” di tahun 1975. Di tahun 1978, dia diminta oleh sang paman untuk kembali membantu mengelola “SRS” yang tersendat terbit setelah ditinggalkannya, dan dia pun menerimanya untuk kembali mengelola “SRS”.

Ditahun yang sama, Asdit muda pun tidak hanya merintis karir sebagai wartawan, tetapi juga memulai debutnya sebagai organisatoris di bidang media dengan menjabat sebagai Sekretaris Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Sumatera Selatan yang di Ketuai oleh M. Rivolis, sampai dengan tahun 1983.Tahun 1979, kali pertama ia mulai mengurus dan tercatat sebagai Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumatera Selatan, disaat Harmoko sebagai Ketua PWI Pusat.

Tahun 1983, di usia yang terbilang muda, 33 tahun, sesuai amanah Sang Paman sebelum berpulang ke Rahmatullah, dia melanjutkan dengan memegang posisi puncak tampuk kepemimpinan “SRS” sebagai pemimpin Umum/Redaksi hingga tahun 1999. Karirnya di bidang organisasi media juga semakin mendapat tempat dengan kembali duduk sebagai Wakil Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Sumatera Selatan periode tahun 1983 sampai 1988 yang saat itu dijabat oleh  Alwi R Pandita.

Kiprahnya tak hanya sebagai pemimpin media cetak dan duduk di organisasi SPS Sumsel, di tahun 1987, dia juga aktif di organisasi profesi wartawan dengan menjabat sebagai Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumsel.Kedekatan kekerabatan dan senioritas dengan H. Ismail Djalili yang terus memotivasi dan mendesaknya untuk kuliah di Akademi Publisistik “Candradimuka” Palembang, akhirnya berbuah manis, dimana tahun 1988 dia berhasil merampungkan studinya dan meraih gelar Strata 1 (satu) di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (Stisipol) Candradimuka Palembang, pada jurusan Ilmu Komunikasi. Setahun kemudian,1989 dia pun menjadi dosen ilmu komunikasi disana hingga tahun 2008,sampai akhirnya dapat meraih gelar Sarjana Strata 2 Magister Administrasi Publik.

BACA JUGA INI:   11 Tenaga Kesehatan, Dokter dan Bidan PTT di Muba Disumpah PNS Lewat Vidcon

Posisinya sebagai Pemimpin Umum/Redaksi “SRS” dan keaktifannya di organisasi media dan profesi kewartawanan tidak membuat dirinya jumawa, tetapi justru dimanfaatkannya untuk menjalin persahabatan, kebersamaan dan keakraban dengan sesama insan pers di Sumatera Selatan, dari wartawan yang senior dan junior, baik dengan para owner dan pemimpin media hingga wartawan.

Kiprahnya semakin cemerlang, saat dia dipercaya sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumsel dua periode berturut-turut sejak tahun 1991 sampai dengan 1999, menggantikan H. Ismail Djalili.

Di periode kedua kepemimpinanya pada PWI Cabang Sumsel, dia turut berperan sebagai inisiator dan menggalang kekuatan Sumatera dan Sulawesi untuk menjadikan Ketua PWI DKI Jakarta, Tarman Azzam sebagai Ketua Umum PWI Pusat, yang akhirnya berhasil. Saat itu, Tarman mengajaknya untuk duduk di pengurus PWI Pusat, namun ditolaknya.

Di periode ini juga tepatnya di tahun 1998, dia mengundurkan diri dari jabatan Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Sumsel, karena Konggres PWI pasca Reformasi melarang Ketua PWI rangkap jabatan di kepengurusan partai politik.

Banyak kawan dan relasi yang menyayangkan pilihannya tersebut, mengingat masa jabatannya sebagai Ketua PWI Cabang Sumsel yang tidak sampai setahun lagi akan berakhir, sedangkan jabatannya dikepengurusan partai politik tersebut cukup menjanjikan untuk mengantarkannya ke parlemen ditingkat provinsi. Namun dia tetap pada pilihannya untuk menyelesaikan tugas dan amanah sebagai Ketua PWI Cabang Sumsel hingga masa baktinya berakhir, karena menurutnya begitulah sikap dan pilihan seorang professional dalam mengabdikan diri, haruslah tuntas.

Saat menjabat sebagai Ketua PWI Cabang Sumsel, dia juga aktif didalam kepengurusan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumsel di tahun 1993 – 1998.

Usai pengabdiannya berakhir sebagai Ketua PWI Cabang Sumsel, di tahun 2000 dia diajak H. Darus Agaf mengelola organisasi DPW. Partai Bulan Bintang sebagai Wakil Ketua Bidang Organisasi, meskipun tidak berhasil mengantarkannya duduk di kursi “empuk” legislatif Sumsel pada Pemilu tahun 2004, namun saat itu Partai Bulan Bintang Sumsel berhasil meningkatkan jumlah kursi parlemen dari Pusat hingga ke tingkat kabupaten/Kota se Sumatera Selatan, bahkan meraih predikat DPW terbaik dalam pengelolaan organisasi dan administrasi secara Nasional.  Pada tahun 2001, dia dipercaya duduk sebagai salah seorang pengurus di KONI Provinsi Sumsel hingga sekarang. Kemudian di tahun 2002 menjadi Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) sampai dengan tahun 2007, dilanjutkan dengan menjadi Penasehat ISKI di tahun 2007 sampai dengan sekarang.

BACA JUGA INI:   Aziz : Optimalkan Pembinaan Atlet Usia Dini

Kembali ke pengurusan PWI Sumsel di tahun 2004 sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Sumsel sampai dengan tahun 2008. Tahun 2013 sampai 2018 menjadi Penasehat PWI Sumsel.Dia juga pernah menjadi Wakil Kepala Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Sumsel dari Tahun 2010 sampai2014. Wakil Pimpinan Redaksi Majalah Olahraga “SPORT NEWS” KONI Sumsel di tahun 2013, kemudian menjadiPimpinan Redaksi di tahun yang sama hingga tahun2018. Berbagai pendidikan dan pelatihan di bidang media dan pers pernah diikutinya, antara lain Penataran Manggala P-4 Khusus Pimpinan Redaksi Media Massa Seluruh Indonesia Di BogorTahun 1994, Pelatihan Khusus Ahli Pers dari Dewan Pers tahun 2010. Dia juga salah seorang yang memperoleh sertifikat Ahli Pers Dari Dewan Pers di Tahun 2010 dan Pemegang Kartu Wartawan Utama.

Baginya, menjadi wartawan merupakan profesi yang mulia karena berorientasi kepada kepentingan orang banyak dan menegakkan kebenaran serta keadilan, sehingga tidak mengherankan bila sering bersentuhan dan berhadapan dengan resiko, tekanan dan ancaman sebagai konsekwensinya, seperti yang pernah dialaminya. Namun, sebaik-baiknya seseorang adalah yang memberikan manfaat bagi orang banyak “Rahmatan lil alamin” sebagaimana mestinya seorang wartawan professional berkiprah.

Wartawan itu juga “Kaya” karena tidak ada seseorang memilih menjadi wartawan dengan kemampuan ilmu yang pas-pasan dan fakir, memiliki jaringan yang luas, dan pergaulan yang mentereng dari pejabat kelas wahid hingga anak jalanan, dari pengusaha kelas kakap hingga pedagang pinggir jalan, bahkan Ustad hingga preman pasar, tidak ada profesi sekaya dan luar biasa seperti wartawan.

Dia mengatakan keberhasilannya membawa PWI Sumsel di era 90 an, bukanlah semata karena kemampuan dan kepiawaiannya memimpin, tetapi lebih kepada potensi dan kemampuan wartawan-wartawan muda khususnya anggota PWI Sumsel kala itu, yang penuh integritas, professional, keakraban dan kebersamaan serta solidaritas yang tinggi, saling menghargai dan saling menghormati sesama profesi meskipun berbeda media. Puncak keemasan dan kejayaan PWI Sumsel saat itu, hanyalah akibat dari sebab para wartawan muda yang tergabung didalamnya yang senantiasa selalu “meninggikan” martabat profesi yang ditekuninya itu.

Dan terbukti, kini wartawan-wartawan muda itu, mayoritas mampu berkiprah dan malang melintang lebih sukses dan berhasil bahkan lebih hebat dibandingkan dirinya, Bravo Wartawan Indonesia !!! Firdaus/berbagai sumber)

lion parcel